![]() |
Menteri PPPA RI, Yohana S. Yembise. |
SAPA
(TIMIKA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
Republik Indonesia (RI), Yohana Susana Yembise mengatakan, kekerasan dalam rumah
tangga dan kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur di Papua menjadi nomor
satu di Indonesia.
Untuk itu Menteri PPPA mengatakan, pemerintah sudah mengeluarkan
Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2016 tentang perlingdungan anak. UU tersebut di antaranya menyatakan,
barangsiapa yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak atau bahkan membuat
anak meninggal, cacat dan tertular penyakit berbahaya, maka akan dikenakan hukuman mati, hukuman seumur hidup
dan kebiri. Termasuk juga hukuman diumumkannya tindakan pelaku ke ruang publik
serta pemasangan cip di tubuh pelaku.
"Kami pemerintah sudah membuat undang-undang dan hukumannya
sudah jelas. Supaya mata rantai kejahatan seksual dapat diputuskan dan
anak-anak tidak jadi korban. Karena mereka adalah generasi penerus bangsa yang
harus diselamatkan," ujar Menteri PPPA RI kepada wartawan Salam
Papua di Gereja Tiberias, Minggu (5/11).
Dia mengimbau dan mengajak
seluruh elemen masyarakat termasuk Gereja, LSM, dunia usaha, dunia akademisi
serta media untuk bersama-sama membantu pemerintah untuk mensosialisasikan,
mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat supaya sadar dan menghindari tindak
kekerasan terhadap anak.
"Sudah saatnya kita
memutuskan mata rantai kekerasan seksual kepada anak-anak di bawah umur yang
merupakan aset kita ke depan," ujarnya.
Dia mengungkapkan, walaupun masyarakat meminta untuk segera
menerapkan hukum kebiri, namun hal tersebut tidak serta merta langsung
diberlakukan kepada pelaku. Harus didasarkan pada keputusan pengadilan. Dalam
hal ini, pemerintah melalui Kementerian PPPA saat ini sedang gencar mensosialisasikan
hal tersebut, demi mengantisipasi kesalapahaman penerapan hukum.
"Untuk hukum kebiri, pelakunya bukan langsung di hukum kebiri. Tetapi setelah menjalani
keputusan pengadilan untuk menjalankan hukuman dasar 15 atau 20 tahun baru dikasih kebiri," ungkapnya.
Menurutnya, melalui hasil kajian kekerasan di Papua dipicu oleh
dua faktor. Yaitu faktor budaya patriakhi dimana laki-laki merasa memiliki kewenangan
penuh untuk menguasai perempuan, dan faktor Miras. Untuk itu, Menteri PPPA
menghimbau supaya masyarakat segera melaporkan kepada Polisi terkait kasus
termaksud .
"Untuk itu saya himbau apabila ada kekerasan dalam rumah
tangga atau kejahatan seksual, untuk bisa melapor ke pihak kepolisian. Karena
dalam undang-undang sudah jelas mengenai hukumannya," himbaunya. (Albin)
0 komentar:
Post a Comment