Aneka jenis kulit bia (kerang) yang menjadi alat tukar di kawasan pegungan Papua. (Foto-Antara) |
SAPA
(JAYAPURA) - Bupati Puncak, Willem Wandik mengaku, kulit
bia (kulit kerang) pernah menjadi alat tukar atau barter sejak zaman dahulu di
kawasan pegunungan sebelum mengenal alat tukar modern.
Pertukaran (barter) di kenal dan dilaksanakan
suku-suku di pegunungan tengah termasuk suku Dani, Damal, Moni, Amungme, Mee,
Nduga, Delem Wano, sebelum mengenal alat tukar modern yakni uang.
Akibatnya tradisi tersebut makin memudar
seiring perkembangan zaman, kata Bupati Wandik seusai menggelar ritual adat
mengangkat kulit bia di Ilaga, Sabtu.
Menurut dia, saat menggelar kegiatan tersebut
semua kepala suku diundang dalam acara yang diawali dengan pertemuan Jumat
malam (28/2).
Saat pertemuan itu diperlihatkan beberapa
kulit bia untuk melihat keaslian dan nilainya yang dilanjutkan bakar batu Sabtu
(29/2), kata Wandik seraya menambahkan, dalam acara tersebut diangkat kulit
kerang jenis baru yang dinamakan "karebo" yang diberikan kepadanya.
Kulit kerang karebo yang diberikan senilai Rp1
miliar, aku Bupati Wandik.
Kulit bia selain digunakan sebagai alat tukar
juga sebagai harta karun sehingga pemiliknya dianggap tokoh sehingga masyarakat
akan mendatanginya untuk meminta saran terkait persoalan sosial.
Ia mengakui jika diuangkan harga kulit kerang
berkisar Rp 5 juta hingga Rp 500 juta yang ditambah beberapa ekor babi sesuai
jenisnya misalnya itaniwaga untuk kelas bawah, songgala wanggala kelas dia,
wonggal wonggala kelas tiga dan wewuait serta karebo.
Kulit kerang dapat dijadikan alat negoisasi
perdamaian bila terjadi perang antar suku sehingga pemda berupaya melakukan
pendekatan.
Kearifan budaya lokal agar mampu menyelesaikan
konflik sosial, ekonomi dan budaya, yang sering terjadi di kawasan pengunungan,
tambahi Wandik.(Antara)
0 komentar:
Posting Komentar