![]() |
Vice President Community Relations & Human Right PTFI, Arnold Kayame (kiri), Ketua Lemasko, Gerry Okoare (tengah), dan Ketua Lemasa Stignal John Beanal (kanan) (Foto:SAPA/Jefri) |
SAPA (TIMIKA) – PT. Freeport Indonesia (PTFI) bersama Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) dan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) mengevaluasi perjanjian implementasi yang dimulai sejak Oktober 2000 lalu.
Perjanjian implementasi ini berdasar pada Forum MoU
2000 antara PTFI dan kedua lembaga adat tersebut sebagai representatif
masyarakat pemilik hak ulayat ini yang dimulai sejak tahun 2000 lalu.
Hal ini dijelaskan Vice President Community Relation &
Human Right PTFI, Arnold Kayame kepada awak media di Bilangan Budi Utomo-SP 1,
Rabu (25/8/2021).
Ia mengatakan, atas dasar Forum MoU 2000, PTFI berkomitmen
menjalankan investasi sosial di wilayah sekitar area perusahaan dan untuk
mewujudkan ini PTFI berjalan bersama kedua lembaga adat tersebut.
Salah satu poin dalam Forum MoU 2000 itu, lanjut Arnold,
melakukan kegiatan yang menyentuh langsung masyarakat, salah satunya
pembentukan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK) yang
sekarang berubah menjadi Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro
(YPMAK).
Dalam kepengurusan YPMAK, PTFI, Lemasa dan Lemasko sebagai
pendiri dan pembina. Hal ini tertuang dalam perjanjian implementasi yang
dimulai Oktober 2000 lalu.
Dalam MoU 2000 juga sudah diatur bahwa lembaga adat dan PTFI
harus duduk bersama membicarakan bagaimana investasi sosial yang dilaksanakan
di lapangan.
Seiring terjadinya perubahan besar di PTFI termasuk
kepemilikan saham, maka saat ini PTFI mengarahkan masyarakat terutama Lemasa
dan Lemasko agar bisa mengikuti perubahan yang terjadi.
“Jadi sistem monitoring investasi sosial disesuaikan dengan
regulasi yang sudah disesuaikan juga dengan perubahaan kepemilikan saham di
lingkungan perusahaan,” katanya.
Dijelaskan, berdasarkan Forum MoU 2000 telah dibuat
perjanjian implementasi dimana PTFI, Lemasa dan Lemasko bersepakat melakukan
monitoring dan evaluasi untuk memastikan semua program sosial yang ada saat ini
bisa terukur dan berbasis ke kampung, langsung menyentuh masyarakat.
“Jadi evaluasi terbuka ini sebagai bentuk yang sangat tepat
melalui perjanjian implementasi. Kita semua terlibat turun sama-sama supaya
tidak ada saling curiga. Apa yang kita hasilkan melalui monitoring dan evaluasi
bisa bermanfaat,” ujar Arnold.
Sementara itu Ketua Lemasko, Gregorius Okoare mengatakan,
Forum MoU 2000 sudah berjalan selama 21 tahun dan menurutnya memiliki hasil
yang baik.
Namun dalam pertengahan ada banyak perubahan yang harus
disesuaikan sehingga dibuatlah perjanjian implementasi dimana PTFI, Lemasko dan
Lemasa duduk setara.
“Mau ambil keputusan harus duduk bersama para pembina. Di situlah
kita bangun kemitraan yang berprinsip bahwa segala sesuatu diputuskan tidak
hanya PTFI sendiri tapi setara dan duduk bersama. Itu hal paling pertama
sekali,” katanya.
Sedangkan ketua Lemasa, Stingal Jhonny Beanal mengatakan
pihaknya mengakui saat ini hubungan lembaga adat dan PTFI semakin baik.
"Dulu pimpinan lembaga adat mungkin belum pernah ada
relasi hubungan baik seperti saat ini. Sekarang luar biasa benar-benar terbuka.
Contoh, setelah diubahnya LPMAK ke YPMAK kami semua terlibat di dalamnya,"
ujarnya.
Apalagi, tambah Jhonny, dengan dilakukan monitoring dan evaluasi ini lembaga adat benar-benar dilibatkan terutama dalam hal program sosial yang menyangkut masyarakat, sehingga apa yang belum dijalankan sama-sama dipikirkan untuk dilaksanakan, termasuk pengawasan sehingga kegiatan-kegiatan itu betul menyentuh masyarakat. (Jefri Manehat)
0 komentar:
Posting Komentar