![]() |
Alion Belau, Pilot Putra Asli Papua (Foto:SAPA/Acik) |
SAPA (TIMIKA) –
Jika dahulu langit Papua hanya dilintasi pesawat yang diterbangkan pilot yang
berasal dari luar Papua bahkan luar negeri, maka sejak tahun 2016 hingga saat
ini anak Papua pun bisa menerbangkan pesawat menembus cakrawala melayani sesama
masyarakatnya dari Kabupaten ke Kabupaten serta Kampung ke Kampung.
Kapten Alion Belau, putra asli Suku Moni Papua memiliki mimpi
yang besar mempunyai pesawat sendiri bahkan memiliki perusahaan penerbangan
sendiri. Mimpi itu mungkin saja diraihnya karena ia selalu meyakini bahwa di
dunia ini tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, karena dari seorang anak tukang
berburu di hutan ia bisa mencapai cita-citanya yang awalnya ia berpikir
kesempatan menjadi pilot hanya milik anak orang berada, anak orang kaya,
tapi kini sudah menjadi pilot yang sudah memiliki 2.500 jam terbang.
Selengkapnya kisah hidup Alion Belau, anak kampung sederhana
yang kini menjadi Kapten Pesawat Cessna Caravan yang setiap hari melintasi alam
Papua yang indah, berikut laporan Wartawan Salam Papua.
Pria berperawakan tinggi, atletis dan hitam manis itu sangat
sopan dan ramah ketika berbincang-bincang dengan Wartawan Salam Papua di salah
satu hotel berbintang di Jalan Hasanuddin, Timika, Papua beberapa waktu lalu.
Ia sangat semangat ketika menceritakan kisah hidupnya dan
perjuangannya hingga kini ia bisa menjadi seorang pilot.
Alion, sapaan akrabnya lahir pada 13 Maret 1993 di Kampung Kendetapa, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua ini memiliki masa kecil yang tidak seberuntung anak-anak lainnya.
Ia terlahir sebagai anak tukang berburu dan ibu rumah tangga
dari Aser Belau dan Yustina Selegani ini melewati masa kecilnya dalam
kesederhanaan dan segala sesuatu yang serba terbatas karena hidup di kampung
terpencil. Tapi nasib kini membawa ayahnya menjadi seorang PNS yang mengabdi
sebagai guru.
Meskipun demikian ia memiliki cita-cita yang tinggi, ia
menjadi pilot karena awalnya sering melihat pilot-pilot dari negara lain yang
sering masuk ke daerah.
Ia melihat pilot-pilot itu berpakaian rapi, tegap dan sangat
gagah, ia pun berkeinginan menjadi seperti pilot-pilot yang sering dilihat di
masa kecilnya.
“Tapi waktu itu saya pikir mungkin tidak akan tercapai
karena segala keterbatasan kami. Tapi ternyata tidak, dengan kemauan, semangat,
komitmen dan memiliki daya juang yang tinggi saya berhasil menjadi pilot,” kata
Alion.
Anak pertama dari 3 bersaudara ini mengenyam pendidikan SD
dari kelas 1 sampai kelas 3 di SD Inpres Kampung Harapan Sentani Jayapura.
Kemudian pindah di SD YPPGI Kwamki Lama, Timika dari kelas 4 sampai tamat SD.
Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di SMP Advent Timika
dari tahun 2005 sampai 2008.
Kemudian mengikuti seleksi beasiswa untuk tingkat SMA yang
dibuka Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK) yang sekarang
sudah berubah nama menjadi Yayasan Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro
(YPMAK), dan dinyatakan lulus sehingga berkesempatan melanjutkan pendidikan di
SMA Theresiana Semarang.
“Sampai di Semarang kita matrikulasi dulu. Ini merupakan
progran LPMAK, jadi setiap penerima beasiswa harus melakukan matrikulasi selama
1 tahun. Jadi matrikulasi itu bukan sekolah reguler, LPMAK bayar guru-guru dari
SMA Theresiana untuk program matrikulasi ini di asrama sejak 2008 akhir sampai
pertengahan 2009, kemudian pertengahan 2009 baru saya mulai masuk SMA
Theresiana,” kenang Alion.
Setelah menamatkan SMA, ia kembali berkesempatan mendapat
beasiswa dan ia memilih untuk sekolah pilot, hanya saja saat itu sesuai biaya
yang disiapkan LPMAK ia hanya bisa bersekolah pilot di Jakarta.
Namun Alion bersih keras ke sekolah pilot pilhannya sendiri
di Pro Aircraft Flight Training, Fort Worth, Dallas Texas, Amerika Serikat.
LPMAK pun akhirnya menuruti keinginannya, hanya saja Ia
hanya mampu disekolahkan selama 1 tahun, di tahun 2013 serta 2014, dan ia hanya
berhasil mendapatkan satu program yakni private pilot license (PPL) sementara untuk
bisa menjadi pilot harus mengambil lagi program Commercial Pilot License (CPL)
dan Instrumen Rating (IR).
Akhirnya ia memutuskan pulang ke Papua karena selain
terkendala biaya juga harus kembali karena Visa untuk tinggal di Amerika sudah
habis dan ia harus mengurusnya lagi di Indonesia.
“Tiba di Timika saya bertemu lagi dengan orang LPMAK untuk
bisa meminta lagi beasiswa melanjutkan dua program ini tapi karena memerlukan
biaya yang besar jadi harus menunggu proses. Akhirnya saya memutuskan kirim
proposal ke pemerintah Provinsi Papua dan Puji Tuhan Bapak Gubernur Lukas Enembe
menjawab proposal saya. Sehingga saya bisa melanjutkan dua program CPL dan IR
di Genesa Flight Academy di Jakarta selama 6 bulan,” ujarnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia dikontrak oleh PT. Aviasi Indoperkasa milik Alm. George Resubun yang merupakan orang tua angkatnya namun pada tahun 2016 lalu perusahaan itu telah bangkrut.
“Jadi sebenarnya saat waktu masih sekolah juga saya sudah
digaji oleh PT Aviasi Indoperkasa sehingga pas selesai sekolah saya masuk ke
perusahaan namun saya tetap mengikuti semua proses penerimaan pilot baru. Saya
mengikuti type rating Cessna Caravan. Jadi setelah dapat type rating pada tahun
2016 saya ke Papua mulai terbang dengan pesawat Cessna Caravan,” ungkapnya.
Rute di awal terbangnya saat itu Nabire ke Sugapa, Nabire ke
Ilaga kemudian pindah base di Timika dan rute berubah menjadi Timika-Ilaga, Timika-Beoga dan Timika-Sugapa. Pesawat
yang dikemudikan Alien itu berkapasitas 11 penumpang.
“Jadi saya bawa dua tipe pesawat ganti-ganti misalkan bulan
ini Grand Caravan, bulan depan Grand Caravan X, jadi selang-seling begitu. Bedanya
hanya di mesin misalkan 150 cc dan 200 cc,” jelas Alion.
Awalnya setelah menyelesaikan studinya sebagai pilot, dia
sempat mengikuti tes Pilot di pesawat Garuda tapi tidak lolos. Namun ia tidak
menyesali itu, karena menurutnya saat itu jika ia lolos di Garuda maka ia tidak
berkesempatan mengelilingi wilayah pedalaman Papua yang sangat indah.
Dalam mengemudikan pesawat Cessna Caravan ini, Dia mengaku
banyak tantangan luar biasa yang dihadapi namun justru tantangan itu menjadi
hal yang sangat ia syukuri.
“Jadi mengemudikan pesawat ini yang susah itu justru pesawat
kecil ini daripada pesawat komersil yang besar, karena di pesawat kecil yang
tidak terbang tinggi kita bekerja mulai dari take off sampai landing, kalau
pesawat besar yang terbang tinggi hanya bekerja saat take off dan landing
setelah itu auto pilot yang bekerja,” ujarnya.
Apalagi dengan alam Papua yang sangat ekstrim ini menjadi
tantangan yang lebih luar biasa lagi, namun sejauh ini ia berhasil menghadapi
semuanya dan ia berkeyakinan bahwa dalam bekerja Tuhan selalu menyertainya dan
leluhurnya selalu ada bersamanya di tanahnya sendiri.
Ia menceritakan, ada beberapa teman pilotnya pernah terbang
di wilayah pedalaman Papua kemudian minta pulang karena takut dengan medan
apalagi saat cuaca ekstrem resiko bahayanya besar.
“Jadi dalam kondisi cuaca tidak bagus di mana kita sudah mau
mendarat terus tidak bisa lihat landasan ini yang kadang membuat kita agak stress.
Waduh kita terperangkap, kadang kita mau mendarat banyak awan terus pas kita
lihat ke bawah ada cela kita bisa masuk, tapi masih juga ada leher di bawah. Jadi
memang insting kita harus tahu posisi saya di mana,” ujarnya.
Ia kadang berpikir hari ini mungkin masih selamat tapi besok
melintasi lagi wilayah yang ekstrem mungkin saja bisa tidak selamat, tapi yang
menjadi kekuatannya selama ini, hidup-mati di tangan-Nya Tuhan dan ia meyakini
ia tidak akan celaka di tanah kelahirannya ini.
“Saya yakin alam dan leluhur juga menjaga saya, saya bekerja
dengan sepenuh hati memberi rasa bangga kepada masyarakat. Selama ini
masyarakat saya yang ada di pedalaman hanya melihat pilot-pilot bule atau dari
daerah lain, tapi kini mereka melihat saya anak Papua asli dari wilayah suku Moni
yang membawa pesawat sampai ke daerah-daerah pedalaman. Saya sangat rasa bangga
dan terharu ketika saya mendarat dan langsung disambut warga dengan bahasa
daerah. Kami berbicara, bercerita menggunakan bahasa daerah, itu kebanggaan
yang luar biasa bagi saya dan itu juga menjadi kekuatan saya selama ini,” ujar
Alion.
Hal lain yang paling disenanginnya dalam pekerjaannya saat
ini dia berkesempatan mengelilingi Tanah Papua yang indah, yang sangat
dibanggakan apalagi berkesempatan untuk terbang ke kampung halamannya sendiri.
“Ini kebanggan sendiri buat saya dan kalau waktu itu saya
lolos diterima jadi pilot di pesawat Garuda besar saya tidak mempunyai kesempatan
seindah ini,” tuturnya.
Dikatakan, untuk mendapat posisi menjadi kapten seperti saat
ini, ia harus melalui beberapa tahap, salah satunya adalah experience atau pengalaman
terbang di tempat-tempat di mana dia mau jadi kapten. Berikutnya jam terbang
yang harus mencapai 1050 jam sesuai aturan Dirjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia. Akan tetapi bisa juga sesuai standar
operasional prosedur (SOP) dari perusahaan.
“Biasanya perusahaan punya aturan sendiri, SOP sendiri,
tergantung kondisi dan kebutuhan perusahaan. Misalnya ada yang biasanya
baru 500 jam terbang, ketika dia punya kemampuan cukup di skill motoriknya di
bidang pengetahuan dan itu masuk di kriteria dari perusahaan, maka perusahaan
akan memberikan laporan bahwa dia adalah kandidat Kapten yang akan kami
training. Jika ada persetujuan dari pusat dia tidak perlu butuh 1050 jam, dia
bisa langsung untuk jadi kapten,” kata Alion.
Meskipun sudah menggapai mimpinya menjadi pilot, ia masih
memiliki mimpi besar yaitu mempunyai pesawat sendiri bahkan kalau bisa punya perusahaan
penerbangan sendiri.
“Itu mimpi terbesar saya dan saya yakin di dunia ini tidak
ada yang tidak mungkin. Dulu masih kecil saya berpikir menjadi pilot itu
mustahil bagi saya, tapi buktinya bisa terwujud dan saya yakin mimpi sebesar ini
juga suatu saat nanti bisa terwujud,” ujar Alien yang saat ini bergabung dengan
PT. Aviasi Puncak Papua milik Pemerintah Kabupaten Puncak ini.
Dia mengatakan, saat ini sudah berdiri suatu organisasi
besar bernama Papuan Aviator Network yang menampung semua orang asli Papua baik
dari provinsi Papua maupun Papua Barat yang bekerja di bidang penerbangan, baik
pilot, pramugari, tenaga kontrol di bandara, semua tergabung dalam wadah
tersebut. Organisasi itu pusatnya di Jayapura dan ia sendiri menjabat sebagai
sekretaris jenderal.
Dia menjelaskan, dibentuknya organisasi itu untuk menolong
anak muda Papua yang sedang menempuh pendidikan apapun profesinya di bidang
penerbangan.
“Jadi kita bentuk organisasi ini agar orang Papua bisa
tolong orang Papua. Dengan motivasi itulah kami berharap kita semua bersatu. Kita
berkomitmen studi yang kita geluti saat ini ini apapun profesinya di bidang
penerbangan kita saling support. Harapan saya teman-teman yang masih studi saat
ini tidak gampang putus asa jika mengalami kendala biaya tidak perlu putus asa,
berusaha cari jalan-jalan yang lain agar pendidikan bisa selesai,” pesannya.
Ia mengakui untuk masalah pendidikan di Papua memang masih
sangat tertinggal. Hal ini juga disebabkan masalah politik membuat anak Papua
tidak stabil dalam bersekolah. Selalu ada rasa pesimisme, sehingga hal ini juga
harus menjadi perhatian penting pemerintah.
Untuk itu kepada generasi muda Papua ia berpesan di zaman
digital yang semakin canggih ini ia berharap semua anak muda Papua mau
memanfaatkan kesempatan untuk bersekolah apalagi sekarang pemerintah sebagian
mendukung biaya pendidikan bagi orang asli Papua.
Menurut dia, tidak perlu mendengar jika orang lain
menganggap anak Papua tidak mampu. Sebab itu hanya ucapan yang jika didengar
bisa menghambat sehingga anak Papua menjadi tidak bisa. Namun, jika kita punya
kemauan dan ingin maju, mau berubah serta punya komitmen dan disiplin tinggi, maka
semua manusia termasuk anak Papua pasti bisa. Saat mulai menempuh pendidikan
harus punya daya juang dan semangat belajar yang tinggi agar tidak kalah bersaing
dengan teman lain dari luar Papua.
“Dulu kita lihat yang terbangkan pesawat ke pedalaman itu
hanya orang bule. Kalau bukan bule,pasti teman-teman lain dari luar Papua, tapi
dengan kemauan, kerja keras, disiplin tinggi maka anak Papua juga bisa
terbangkan pesawat di atas langitnya dan melayani masyarakatnya sendiri. Saya
sudah buktikan itu. Barang ini gampang saja kalau kita mau belajar, berusaha dan
tidak lupa berdoa. Intinya semangat
juang harus ada. Kalau seorang Alion bisa jadi pilot, kenapa teman-teman
lainnya tidak bisa. Kita semua bisa jika punya komitmen di masing-masing
bidangnya,” tutupnya. (Yosefina/Acik)
0 komentar:
Posting Komentar