![]() |
Rombongan Anggota Komisi VIII DPR RI saat berkunjung ke Sekolah Asrama Taruna Papua (SATP) Timika (Foto:SAPA/Yosefina) |
SAPA (TIMIKA) - Anggota Komisi VIII DPR RI, Hj. Endang Maria Astuti, S.Ag.,SH., MH saat ditemui di sela-sela kunjungan ke Sekolah Asrama Taruna Papua (SATP) Timika, Rabu (15/9/2021), mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang esensinya lebih berpihak pada korban kekerasan seksual.
Ia mengungkapkan, RUU PKS ganti nama menjadi RUU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual saat ini masih dalam pembahasan dan tidak lama lagi akan
disahkan.
“RUU PKS ganti nama menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini lagi
kita bahas, jadi yang wajib itu harus dibahas dulu kalau dipercepat tapi
akhirnya nanti harus bolak-balik mereview kembali Itu sama juga tidak berarti,”
kata Endang.
Ia mengaku RUU tersebut memang harus segera
diselesaikan. Pada dasarnya dulu telah dibahas beberapa persoalan namun sedikit
menghambat karena tidak berbasis pada korban, tidak ‘care’ terhadap korban.
“Kalau RUU yang dulu judulnya penghapusan ini kan jadi
tindak pidana karena semua tindak pidana ada di KUHP juga. Nantinya akan
dibahas, cuma yang punya ranah siapa sehingga kita berpihak pada siapa
melindungi siapa itu juga harus diatur. Insyaallah ini tidak lama, kelihatannya
akan disahkan,” ujarnya.
Dikatakan, dalam perubahaan nama RUU tersebut, keberpihakan
DPR RI pasti kepada korban karena pihaknya tidak menginginkan ada korban yang
ke sekian, dan pasal-pasal diharapkan sudah berbasis pada penguatan,
perlindungan terhadap korban, tidak keberpihakan kepada pelaku.
Tetapi kalau judulnya yang dulu ‘penghapusan’ justru memberi
peluang yang sangat empuk bagi pelaku karena pelaku bisa mensiasati bahwa dia
tidak melakukan kekerasan.
“Kekerasan itu tidak harus keras tetapi jika pelecehan
seksual yang sampai terjadi pemerkosaan dan menjadi trauma karena ada bujuk
rayu. Kalau masih pakai judul yang lama ‘penghapusan’ pelaku bisa lepas. Jadi
harus bisa dibedakan, insyaallah DPR akan selalu berpihak pada korban,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan untuk Undang-Undang Perkawinan sudah
diratifikasi bahwa orangtua bisa dikenakan pasal jika terjadi perkawinan anak
di bawah umur.
Sehingga perlu pendekatan khusus ke orangtua, perlu
pendampingan agar orangtua bisa memahami bahwa anak harusnya tidak menikah di bawah
umur.
“Ini menjadi penting tapi kadang-kadang maunya kita itu
tidak sesuai dengan kondisi daerah jadi memang harus ada cara-cara khusus, dan
itu juga harus bersinergi dengan daerah itu sendiri, jadi tokoh-tokoh adat dan
sebagainya ini yang kita ajak berdialog,” pungkasnya. (YOSEFINA)
Catatan redaksi: Judul dan bagian isi berita ini ada sedikit perubahan atas permintaan narasumber
0 komentar:
Posting Komentar