Berikut ini hasil wawancara Salam Papua dengan dua sosok
yang tidak asing di dunia industri musik Indonesia ini, saat berkunjung ke
Waanal Coffee and Resto Timika, Kamis malam (4/11/2021).
Harry Anggoman merupakan keyboardist grup band Bakuucakar
dan mantan keyboardist band tahun 90-an Gong 2000. Bukan hanya itu, Harry yang akrab dengan panggilan om Ei, juga
kerap mengiringi penyanyi-penyanyi ternama di tanah air.
Harry mengaku sejak tanggal 2 November 2021 dirinya diundang
untuk menjadi juri pada event Pesparawi XIII se-Tanah Papua di Timika.
Ia menilai bahwa banyak kontingen yang tampil sangat bagus. Namun
satu yang menurutnya sangat disayangkan yakni tidak banyak yang memainkan musik
etnis Papua. Padahal banyak sekali budaya Papua yang dapat digabungkan dengan musik
gospel untuk lagu gereja.
Saat setiap kontingen tampil khususnya pada lomba Musik Pop
Gerejawi (MPG), ia mengaku menunggu akan ada yang mengangkat etnisnya. Namun, sangat
disayangkan ketika itu tidak muncul.
“Itu yang kami
tunggu, bahwa identitas sebagai musisi Papua harus memperkenalkan musik tradisi
Papua. Ini yang nonton satu dunia bukan hanya di Papua, karena ada di YouTube.
Cobalah kita perkenalkan etnis budaya musik yang aslinya Papua kepada dunia.
Untuk lagunya tidak bisa diapa-apain, tapi aransemennya yang harus kita angkat,”
ungkapnya.
Menurut dia, ada satu kontingen yang mengangkat etnis Papua tapi
hanya delapan bar saja. Melihat dan mendengar itu, dia mengaku merasa sejuk
seperti disiram air es karena sangat dingin, indah dan enak didengar.
“Makanya saya pribadi memenangkannya. Sebab musik yang
mereka tampilkan punya identitas, dimana musik pop mereka kombinasikan dengan
etnis Papua. Meski presentasenya hanya berapa persen tapi buat saya itu yang
juara. Itu sangat indah sekali. Itu merupakan sesuatu yang baru dan wahh kalau
didengar orang yang belum pernah ke Papua serta belum tahu kalau musik etnis di
Indonesia itu banyak termasuk yang Papua punyai. Orang-orang akan bertanya itu
musik apa? Dan pastinya terkagum-kagum karena mereka tidak pernah dengar yang
seperti itu,” kata Musisi yang sebelumnya juga sebagai juri Pesparawi Nasional
di Pontianak, Pesparawi di Palu dan Pesparawi di Papua Barat itu.
Dominan yang ditampilkan menurutnya ialah musik Jazz dari
negara luar. Padahal semua orang bisa bermain musik Jazz dan yang lainnya,
sehingga bisa saja ditertawakan ketika kita harus memainkan musik yang
merupakan ciri khas mereka.
“Buat apa keluarkan anggaran banyak kalau hanya menampilkan
yang sudah sering didengar di mana-mana. Itu tidak akan menjadi sesuatu.
Padahal kalau etnis suatu daerah diangkat, maka itu akan memukau banyak orang
di dunia. Sangat disayangkan event ini digelar di Papua kalau identitas Papua
tidak diangkat. Itu tidak cukup dengan hanya pakaian dan mahkota saja, tapi
musik dan budaya lainnya juga perlu ditonjolkan,” ujarnya.
Dia pun mengaitkan hal ini dengan bagian Firman Tuhan dalam
Yesaya 46 ayat 11 yang berbunyi “Aku akan membuat segala gunung-Ku menjadi
jalan dan segala jalan raya-Ku akan Kuratakan. Dan Aku akan membuat semua
gunung-Ku menjadi sebuah jalan, dan jalan-jalan raya-Ku akan menjadi tinggi”.
Papua merupakan bagian timur dari yang paling timur, maka
dari timur ini akan membawa kembali pujian ke seluruh dunia. Terutama ke Israel
yang sampai hari ini tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Dari ujung timur dan
gunung luas ada di sini dan burung buas juga adanya di Papua.
“Burung buas itu mana? Mana esensi dari burung buas itu? Di
sinilah momen kita tampilkan itu. Supaya orang tahu tentang budaya timur itu
kuat melalui musik etnisnya. Pengertian dari ayat itu adalah identitas kita
jelas dalam memainkan musik Papua. Okelah dibungkus dengan musik rock, akan
tetapi ketika etnisnya juga digabungkan, maka ketika orang dengar akan
merasakan wah... enak banget ini musik. Ternyata yang dianggap remeh selama ini
sangat luar biasa,” ujarnya.
Itulah makanya dulu ia memperkuat Baku Cakar dan Gong 2000
dengan tujuan menggabungkan musik rock dengan etnis supaya generasi muda yang
senang dengan aliran rock akan makin senang ketika digabungkan dengan etnisnya.
“Melalui Baku Cakar dan Gong 2000 akhirnya orang
terkagum-kagum, kok gamelan itu bagus yah.. digabungkan dengan rock? Padahal
gamelan itu musik yang kita anggap remeh. Itu yang sangat saya sayangkan di
Pesparawi ini, karena tidak banyak yang angkat etnisnya sendiri. Kenapa cenderung
mengangkat musik barat? Padahal di sekitar kita ada musik kita sendiri yang
harusnya kita pamerkan ke orang barat,” pungkasnya.
Melihat hal ini, menurut dia, masih punya waktu untuk mempersiapkan
penampilan di Yogyakarta dalam Pesparawi Nasional, karena lawan-lawan di Yogyakarta
akan jauh lebih berat dan akan membawa budayanya masing-masing.
“Itu akan menjadi sebuah masukan buat kontingen-kontingen
kita yang tampil di Pesparawi XIII ini. Itu juga sebagai bahan evaluasi,”
tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, pengamat musik Indonesia, Bens Leo
mengatakan bahwa Pesparawi ini penyelenggara utamanya adalah Pemerintah. Dalam
hal ini, pemerintah mengakomodir kegiatan agama tertentu yang bisa
mengaktualisasikan diri dalam menyembah Tuhan melalui karya-karya yang bisa
dinyanyikan.
Pria dengan nama asli Benedictus Benny Hadi Utomo ini
mengaku telah lima kali menjadi juri Pesparawi Nasional yakni di Medan,
Sulawesi Tenggara, Pontianak dan dua daerah lainnya.
“Pesparawi ini sangat luar biasa dan sangat positif karena
sudah merangkul semua anak muda agar memiliki semangat menyembah Tuhan. Makanya
dibuka juga Pesparawi untuk kategori Pop dan muncul juga formasi band,”
ungkapnya.
Dia mengungkapkan, Pesparawi XIII se-Tanah Papua ini sifatnya
Pesparawi Tingkat Provinsi, dimana yang memperoleh champion (kontingen yang
mendapatkan nilai tertinggi pada kategori lomba) akan mewakili Provinsinya ke
Pesparawi Nasional pada tahun 2022 mendatang.
Untuk itu perlu diketahui bahwa kekuatan lagu-lagu daerah
semua ada di 34 Provinsi, sehingga sangat ideal pada pola pembuatan aransemen.
Dalam hal ini, harus ada muatan etnisnya. Apalagi, sejak Pesparawi di Pontianak
telah dimuat adanya kategori Etnik Inkulturasi agar bagian musik dan budaya
daerah itu ditampilkan juga melalui nomor musik etnik.
“Ada tampilan kategori etnik juga di Pesparawi XIII ini.
Unsur etnis itu di luar musik pop dan vokal grup. Itu yang luar biasa sekali, karena
bisa memadukan unsur teater, unsur musik gospel atau gerejawi, unsur daerah
serta unsur-unsur yang sifatnya kedaerahan,” kata pria yang juga masih aktif
sebagai jurnalis ini.
Pada Pesparawi saat ini, memang ada band dan vokal grup yang
menampilkan unsur etnis. Bahkan menampilkan musik reggae yang diselingi dengan
rap.
Menurut dia, perwakilan Papua sangat berpeluang untuk
menjadi juara. Apalagi Papua juga telah lebih dari satu kali menjadi juara umum
di tingkat nasional.
“Etnis Papua ini bagus sekali. Rap dan R&B itu karakter dari Papua dan itu punya
kekuatan tersendiri. Papua ini identik dengan black music. Pesaing Papua yang
ada unsurnya yang sama itu dari Maluku,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengingatkan bahwa yang tidak kalah penting
adalah adanya dukungan dari Pemprov, Pemda dan juga PT Freeport Indonesia
(PTFI). Dalam hal ini, apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh para peserta,
bisa terakomodir melalui ketersediaan dana.
“Anak Papua pokoknya luar biasa dalam bermusik. Punya
talenta yang bagus dan berpeluang untuk juara di tingkat nasional. Makanya
butuh dukungan dari pemerintahnya termasuk PTFI,” katanya. (Acik)
0 komentar:
Posting Komentar