Kepala KPP Pratama Timika, Ambar Ari Mulyo (Foto:SAPA/Jefri) |
SAPA (TIMIKA) - Target penerimaan pajak di wilayah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Timika tahun 2021 sebesar Rp 3.701.153.170 atau Rp 3,701 Triliun.
Kepala KPP Pratama Timika, Ambar Ari Mulyo mengatakan, hingga
bulan November 2021 realisasi penerimaan telah mencapai Rp 3.046.741.187.531
atau sekitar 82.32 persen dari target, tersisa
Rp.654.411.982.469 atau Rp 654 Miliar untuk mencapai target.
"Berdasarkan data per tanggal 31 Oktober 2021,
realisasi yang sudah tercapai menyentuh angka Rp 2.857.887.282.681 atau sekitar
77.22% dari target. Dibandingkan dengan tahun lalu, angka ini menunjukkan
pertumbuhan 4.57%, sedangkan penerimaan di bulan November sendiri meskipun
belum genap satu bulan telah mencapai angka Rp 188.853.904.850, yang artinya
penerimaan sampai dengan hari ini (23/11/2021) telah mencapai Rp
3.046.741.187.531 atau sekitar 82.32% dari target, yang tersisa menjadi PR
besar bagi kita untuk mengejar," ungkap Ambar melalui rilis yang diterima
Salam Papua.
Menurut dia, waktu yang tersisa kurang dari dua bulan, waktu
yang tidak lama untuk mengejar sisa target yang harus dicapai. Perlunya
koordinasi semua pihak dan komunikasi yang intensif menjadi kunci utamanya.
Mengingat waktu yang terbatas, diperlukan pula
terobosan-terobosan baru, dengan harapan dapat menjadi katalisator dalam upaya
pencapaian target-target yang ditetapkan, termasuk pula target penerimaan KPP
Pratama Timika.
Untuk meningkatkan penerimaan negara secara signifikan
dengan melihat tren demografi dan perubahan sosial-ekonomi masyarakat
Indonesia, Kementerian Keuangan terus berupaya untuk melakukan reformasi
perpajakan yang tepat. Reformasi perpajakan ini meliputi dua hal yaitu
reformasi kebijakan dan reformasi administrasi.
Beberapa urgensi yang mendasari reformasi kebijakan di
antaranya memperluas basis pajak; insentif yang terukur, efisien, dan adaptif
dengan dinamika perpajakan global; insentif pajak yang berfokus pada nilai
tambah tinggi dan menyerap tenaga kerja; mengurangi distorsi yang berlebihan; serta
memperbaiki progresivitas pajak.
Sedangkan reformasi administrasi ditujunkan untuk
administrasi perpajakan yang lebih simpel dan efisien, menjamin kepastian hukum
perpajakan, pemanfaatan data dan informasi keuangan secara optimal, adaptasi
terhadap perkembangan struktur perekonomian, mengikuti tren dan best practices
perpajakan global, serta kepatuhan pajak yang tinggi.
"Salah satu kebijakan yang baru-baru ini disahkan oleh
Presiden Republik Indonesia untuk mendukung reformasi perpajakan adalah dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (HPP). Undang-undang ini memuat beberapa perubahan signifikan pada
peraturan perpajakan terdahulu, di antaranya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Cukai,
serta adanya Program Pengungkapan Sukarela dan penerapan pajak karbon,"
terangnya.
Sambungnya, dengan adanya reformasi perpajakan ini
diharapkan akan mendukung keberlanjutan fiskal jangka menengah melalui
penerimaan perpajakan yang lebih optimal, defisit dan rasio utang yang
terkendali, serta keseimbangan primer akan kembali positif pada tahun 2025.
Reformasi perpajakan ini tidak serta merta melupakan dukungan pemerintah atas
masyarakat miskin dan UMKM.
Adanya kebijakan perubahan bracket PPh Orang Pribadi yang
semula sebesar Rp 50 juta dinaikkan menjadi Rp 60 juta, aturan untuk PTKP UMKM
sebesar Rp 500 juta serta pemberlakuan diskon 50% omzet Rp 4.8 M adalah contoh
penguatan peran perpajakan guna redistribusi pendapatan dan dukungan pemerintah
untuk masyarakat miskin dan UMKM.
Seiring dengan disahkannya UU HPP, muncul berbagai macam
spekulasi yang tidak benar. Di antaranya kabar mengenai bahan makanan pokok
yang diisukan akan dikenakan PPN, NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang secara
otomatis menggantikan fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang artinya
seluruh masyarakat Indonesia adalah Wajib Pajak, hingga isu tarif pajak PPh
Badan tidak jadi diturunkan.
Kemudahan akses informasi melalui berbagai platform
seharusnya tidak menjadi alasan seluruh masyarakat memperoleh informasi yang
benar. Isu di atas dapat ditepis melalui kebenaran informasi bahwa atas
sebagian dari makanan pokok yang dikenakan pajak adalah yang dinikmati masyarakat
kelas menengah dan atas.
Tidak serta-merta seluruh pihak dikenakan pajak. Pemerintah
tentu berlaku selektif dalam menerapkan pajak ini. Selanjutnya untuk NIK yang
menggantikan NPWP. Diberlakukannya kebijakan ini tidak lain untuk praktik
integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan.
"Meskipun nantinya akan timbul hak dan kewajiban pajak
yang melekat pada siapapun yang memiliki NPWP, apabila memang di lapangan tidak
memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak, pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan permohonan sebagai Wajib Pajak Non Efektif. Untuk tarif PPh Badan,
melalui UU HPP tarif diturunkan menjadi 22% yang semula 25%. Terakhir yang
tidak kalah menarik adalah diberlakukannya Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Melalui program ini Wajib Pajak dipersilahkan mengungkapkan harta yang
dimilikinya yang selanjutnya akan dikenakan tarif final lebih rendah,"
jelasnya.
Ia menegaskan, apabila Wajib Pajak tidak bersikap kooperatif
yang artinya tetap menyembunyikan hartanya, maka melalui Direktorat Jenderal
Pajak akan dikenakan denda dan tarif final yang lebih tinggi. (Jefri Manehat)
0 komentar:
Posting Komentar