SAPA (TIMIKA) - Sejumlah warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah di sekitar Bundaran Petrosea, SP2, Timika, Papua mengancam akan membongkar enam patung perunggu di Bundaran Petrosea dan akan memalang jalan di wilayah tersebut.
Bahkan kelompok warga itu tidak mengizinkan pemerintah untuk membangun
akses jalan dari Bundara Petrosea langsung ke Jalan C. Heatubun, menuju
terminal baru Bandara Internasional Mozes Kilangin Timika.
Hal tersebut karena ada tumpang tindih dalam pembuatan sertifikat tanah.
Helena Beanal, salah satu warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah
mengungkapkan bahwa, tanah tersebut telah ada pelepasan dari
lembaga adat dan mempunyai sertifikat induk. Iapun sudah sejak lama rutin
membayar pajak tanah itu namun menurutnya, ada juga orang lain yang secara
diam-diam ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mimika membuat
sertifikat atas tanah tersebut.
Sertifikat yang dibuat orang lain itu tanpa adanya berita acara, tapi
hanya dibuat sepihak bersama oknum di BPN. Padahal yang mempunyai tanah di
sekeliling Bundaran Petrosea adalah orang asli Suku Amungme dan Kamoro, yang
kemudian merasa kaget ketika mengetahui ada orang lain membuat sertifikat dan
mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut.
“Tanah ini milik saya dan saya dengan ikhlas mengizinkan pemerintah
memperlebar dan membuka akses jalan, tapi pemerintah malah mempersulitkan
saya. Sebagai warga negara yang taat saya bayar pajak, namun BPN
secara diam-diam malah membuat sertifikat lagi atas nama orang lain di atas
tanah ini. Ini berarti semua kesalahan di BPN,” kata Helena
kepada awak media di Bundaran Petrosea, Rabu (26/1/2022).
Ia menyebutkan oknum di BPN yang membuat sertifikat
di atas sertifikat pada tanah yang dimaksud berinisial S. Iapun berharap BPN
pusat memindahkan oknum itu dari Timika.
“Sertifikat tanah ini tiba-tiba atas nama orang lain? Padahal pemilik sah
dari suku Amungme dan Kamoro masih ada di sekitarnya. Apakah karena kami dari
Amungme dan Kamoro ini tidak punya uang? Makanya ketika orang lain yang punya
uang bisa diterbitkan sertifikat kepemilikan. Oknum di BPN itu harus
dipindahkan dan tidak boleh ada di Timika,” ujarnya.
Helena menjelaskan bahwa orang-orang sudah tahu dengan jelas bahwa
orang Amungme sebagai pemilik tanah itu. Iapun mengaku telah memiliki tanah
tersebut sejak jaman sebelum masuknya PT Freeport Indonesia.
“Kami sudah miliki tanah ini jauh sebelum Mimika jadi Kabupaten sendiri.
Dulu itu Mimika masih bagian dari Fak-Fak. PT Freeport Indonesia belum masuk
juga kami sudah miliki tanah ini,” ungkapnya.
Helena mengatakan luasan lahan di sekitar
Bundaran Petrosea yang diambil pemerintah untuk pelebaran jalan, seluas 230 m x
20 m atau 4.600 m2.
Waktu itu menurut dia sebenarnya ada
sebagian warga Amungme keberatan, sehingga saat Dinas PUPR mulai pelebaran
jalan, masyarakat sudah mau lakukan aksi palang jalan namun ia mencegahnya.
“Saya cegah dan berikan pemahaman bahwa kita
harus dukung supaya daerah kita juga bisa dibangun seperti daerah lain. Saya
dan warga lainya sepakat supaya bayar ganti rugi itu urusan dari belakang. Nah
sekarang ini setalah kami sudah izinkan dilakukan pembangunan dan ganti rugi
belum dibayar, BPN sudah buat lagi sertifikat atas nama orang lain. Masa saya
yang bayar pajak tapi orang lain yang makan uang ganti ruginya. Makanya saya
ingatkan jangan buat jalan tembusan ke terminal baru Bandara Internasional Mozes
Kilangin itu,” ujarnya.
Pantauan Salam Papua, Helena bersama sejumlah
warga langsung menyampaikan masalah itu di hadapan perwakilan BPN Mimika,
perwakilan PT Petrosea, Kepala Distrik Mimika Baru serta pihak Polres
Mimika di Bundaran Petrosea, SP2.
Kepala Distrik Mimika Baru, Dedi Dahmudi Paokuma
mengatakan untuk menyelesaikan persoalan ini harus melibatkan banyak pihak,
dalam hal ini pejabat-pejabat instansi terkait yang lama.
Perlu juga melibatkan pihak Disependa untuk
membuktikan pernyataan dari Helena Beanal yang mengaku rutin membayar pajak
tanah tersebut sejak tahun 2015.
Dalam penyelesaian masalah ini, lanjut dia pihak
distrik hadir sebagai pemberi informasi saja dan berupaya memediasi.
“Ini mediasi kedua makanya kami sarankan untuk
turun langsung ke lapangan. Kami juga tidak tahu pasti titik tanah yang
dipermasalahkan karena itu pejabat lama yang buat,” kata Dedi.
Menanggapi tudingan dari Helena Beanal,
Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran, BPN Mimika, Agustinus S. Taime
mengatakan bahwa jika memang Helena Beanal merasa ada oknum di BPN yang
melakukan hal yang diduga maka silahkan melapor ke penegak hukum.
“Itu hak setiap warga kalau mempunyai bukti ada oknum di BPN yang
melakukan hal seperti yang diduga silahkan lapor ke penegak hukum. Kita ini
negara hukum kalau memang ada mafia atau yang lainnya silahkan dilaporkan
supaya ditempuh jalur hukum saja,” sarannya. (Acik)
0 komentar:
Posting Komentar