(Dok:SAPA) |
SAPA (TIMIKA) – Kota Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, hari ini, Kamis (3/3/2022), memasuki usia ke-49 tahun sejak 3 Maret 1973 saat pertama kali diresmikan Presiden Jenderal Soeharto.
Walaupun kota ini terbilang sangat kecil dengan luas wilayah
1.280 Km2 dan berada di ketinggian sekitar 2500 mdpl, namun kota ini menjadi
sangat dikenal sampai di dunia internasional karena sumberdaya alamnya, yakni
adanya tambang emas raksasa Grasberg yang dikelola PT. Freeport Indonesia
(PTFI).
Tembagapura yang diselimuti pesona alam juga kenyamanan
lingkungan dan persaudaraan yang begitu kuat di antara para penduduknya, banyak
menyimpan memori manis dan tidak terlupakan dari setiap orang yang pernah
tinggal di daerah ini, salah satunya dari sebuah komunitas Anak Gunung
Tembagapura (AGuTe), anak-anak yang lahir-besar di Tembagapura.
Berikut petikan wawancara jurnalis Salam Papua melalui
sambungan telepon, Kamis (3/3/2022).
Carl Tauran yang merupakan Kakak Senior dan juga salah satu
kebanggaan AGuTe, yang saat ini menjabat sebagai EVP Site Operations dan Kepala
Teknik Tambang PTFI turut menyampaikan ucapan selamat Ulang Tahun ke-49 Kota
Tembagapura.
“Selamat Ulang Tahun kota Tembagapura yang ke-49. Tetap
damai, tetap nyaman dan tetap energik buat seluruh warganya untuk tetap tinggal
di Tembagapura,” kata Carl.
Sementara itu, Devry Gandeguay, AGuTe yang saat ini bekerja
di Maluku Utara mengungkapkan indahnya pesona alam Tembagapura dan persaudaraan
di antara warganya.
“Ada banyak hal di Tembagapura yang membuat kangen, baik
dari pemandangan alamnya, gunung esnya, air terjun. Semua tempat di sana menjadi
kenangan termanis buat kita, termasuk saat menempuh pendidikan di sekolah YPJ,
dan juga di mess AGuTe. Rasa persaudaraan antara sesama warga Tembagapura yang
tanpa melihat latar belakang suku, ras dan agama menjadi kesan tersendiri,”
ujar Devry.
Ibu Niko Maruanaya, seorang guru musik di YPJ Tembagapura
mengaku bangga dengan kejujuran dan kegigihan untuk belajar dari anak-anak
didiknya.
Anak-anak sekolah jaman saya mengajar itu tidak ada yang
suka menyontek, mereka jujur semua. Jadi kalau dia dapat nilai 3 ya betul-betul
nilai 3, dapat nilai 10 ya betul-betul nilai 10. Kejujuran mereka itu saya
sangat senang. Dan juga kalau misalnya ada anak yang dapat nilai jelek saat
ujian, ya sudah nanti sore anaknya tidak usah pulang dulu, mengikuti remedial
dulu. Nanti kalau anaknya sudah mengerti, kemudian diikutkan ujian lagi untuk
memperbaiki nilainya,” ungkap guru yang sudah mengabdikan dirinya di sekolah
tersebut sejak bulan Januari tahun 1985 hingga pertengahan tahun 2011 ini.
Ibu Niko juga memuji kekeluargaan yang terjalin di
tengah-tengah sesama guru di YPJ Tembagapura dan juga dengan masyarakat di
tempat tinggalnya di Tembagapura.
“Jadi yang terkesan di saya selama saya tinggal di sana
(Tembagapura) itu, kalau misalnya saya pulang dari cuti dan kembali ke
Tembagapura, tetangga kanan-kiri itu sudah datang kasih rantang (berisi
makanan). Jadi kita pulang ke Tembagapura tidak bingung mau makan apa. Hubungan
guru-guru juga sangat kekeluargaan, tidak melihat suku/agama kami semua rukun
dan saling menghargai. Menjelang lebaran, guru yang merayakan lebaran saat off
Sabtu/Minggu biasanya di antar untuk belanja ke Timika dengan mobil YPJ.
Sebelum lebaran Kepala Sekolah kirim minuman kaleng buat guru-guru yang
lebaran, sehingga kami juga mengikuti hal baik tersebut,” ujarnya.
Di samping itu, Ray Manurung, salah satu owner dan sekaligus
komisaris Amiete Papua Group (sebuah grup perusahaan yang salah satunya
membawahi media massa Salam Papua) ini menceritakan pengalaman manisnya di masa
kecil saat berada di Tembagapura.
Ray, yang hari ini juga merupakan hari Ulang Tahunnya
bersamaan dengan HUT kota Tembagapura, mengatakan bahwa keharmonisan dan rasa
persaudaraan masyarakat di Tembagapura sangat kuat dan tidak pernah membedakan
SARA.
“Orang-orangnya semua sangat bersahabat. Misalnya, saat
pulang cuti, semua tetangga menyambut dengan baik, tiba-tiba saat di rumah
sudah disambut tetangga dengan membawakan makanan. Kekeluargaannya luar biasa.
Kita tidak melihat atau membedakan SARA di sana. Tetangga kita dulu itu, di
sebelah ada pak Haji, ada orang beragama advent, ada juga orang Manado, wah…
macam-macamlah. Saat hari raya Muslim, yang non-Muslim semua datang, begitupun
sebaliknya,” katanya.
Ray pun menceritakan tentang udara Tembagapura yang begitu
sejuk dan bahkan di masa kecilnya, dirinya mengaku bahwa wilayah yang unik itu
telah membentuknya hingga menjadi pribadi yang seperti saat ini. Bahkan
baginya, Hutan itu sudah menjadi rumah yang nyaman.
Ray juga mengisahkan pengalaman menarik di masa kecilnya
waktu di Tembagapura.
“Saat weekend, kita suka ambil-ambil makanan dan minuman ke
shopping kemudian kita naik ke hutan bikin kemah bermalam di sana. Kita juga
ambil bensin di Pom Bensin untuk bakar-bakar kan… Di saat masih kecil gitu aja
karena kita tidak punya mainan lain kan. Saya juga baru sadar di kemudian hari
kalau ternyata orang-orang (penjaga) di Shopping mereka tahu kita ambil makanan
dan minuman itu, tapi kayaknya sengaja memang mereka biarkan itu,” ungkapnya
sambil terdengar suara tertawanya di telepon.
Selain itu, AGuTe bernama Elfrida Natkime, yang saat ini
sedang menempuh studi S1 bidang pertanian di salah satu Universitas di Amerika
Serikat mengungkapkan bahwa kota Tembagapura adalah berkat yang Tuhan berikan
bagi banyak orang.
“Kota Tembagapura itu bisa dibilang seperti Indonesia tapi
versi mininya gitu. Tembagapura ini merupakan Kota penuh berkat bagi banyak
orang yang Tuhan kasih, dari semua keindahan dan kekayaan alamnya. Yang saya
kenal kota ini dari Bapa saya, Bapa Silas Natkime, menjadi tempat dimana suatu
keluarga itu terbentuk, saling ada dan tumbuh bersama,” ungkap Elfrida yang
mengaku akan kembali ke Tembagapura setelah menyelesaikan studinya di Amerika.
(Jimmy)
0 komentar:
Posting Komentar