 |
Foto bersama perwakilan masyarakat dari tujuh kampung di Distrik Alama, usai menyampaikan pernyataan sikap penolakan masuk dalam data wilayah administrasi Kabupaten Nduga. (Foto : SAPA/Acik) |
SAPA (TIMIKA) - Masyarakat tujuh kampung di
Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, yakni Kampung Janggelo, Wuarem, Wandud, Purua, Pusue,
Ngeselema dan Kampung Kilimat dengan tegas menolak menjadi bagian dari Kabupaten Nduga.
Penolakan ini disampaikan setelah mengetahui hasil rapat klarifikasi
batas wilayah yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Nduga dan Kabupaten
Mimika, bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada 10 Maret 2022 atas status
hukum wilayah administrasi Pemerintah Distrik Alama, yang wilayah administrasinya diklaim Pemerintah Kabupaten Nduga secara sepihak.
Sehingga masyarakat dari tujuh kampung itu dengan tegas menolak bergabung dengan Kabupaten Nduga dan tetap memilih berada di wilayah administrasi Distrik Alama, Kabupaten Mimika.
Penolakan tersebut melalui pernyataan sikap tujuh kepala kampung, perwakilan tokoh gereja, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan perwakilan mahasiswa.
Pernyataan sikap ini disampaikan dalam jumpa pers di Gang Pepaya, Jalan Hasanuddin, Timika, pada Sabtu (19/3/2022).
Dalam jumpa pers itu perwakilan dari ketujuh itu kampung menandatangani berita acara pernyataan sikap tersebut yang menegaskan bahwa tujuh kampung
tetap berada dalam wilayah administrasi Distrik Alama, Kabupaten Mimika yang
sah atas status hukum dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun tanpa
melibatkan masyarakat setempat.
Kepala Kampung Jenggelo, Nasil Nirigi dalam pernyataan sikap menyampaikan semua pembangunan fisik yang berada pada tujuh kampung itu
adalah bukti keseriusan dari Pemerintah
Kabupaten Mimika dalam menjalankan tugas
pelayanan kepada masyarakat.
Untuk itu diharapkan Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Kabupaten Nduga
segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait tapal batas wilayah
administrasi Distrik Alama di Kabupaten Nduga dan wilayah administrasi Distrik Alama di Kabupaten Mimika.
Menurutnya masyarakat tujuh kampung sangat bersungguh-sungguh akan
bertanggungjawab atas kesepakatan penolakan ini dan menjadi acuan bagi Bupati
Nduga dan Bupati Mimika.
"Pernyataan
sikap ini akan dibuat secara tertulis dan lisan serta melalui baliho-baliho
sebagai bentuk keseriusan bahwa masyarakat tujuh kampung tidak setuju menjadi
bagian dari Kabupaten Nduga," katanya.
Nasil mengungkapkan, warga tujuh kampung dilindungi oleh Undang Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia, data tujuh kampung tersebut juga masuk dalam file data sebagai bagian dari
warga Distrik Alama, Kabupaten Mimika. Namun sangat disayangkan saat ini
diklaim menjadi warga dari kabupaten Nduga dengan keputusan yang diambil
sendiri tanpa adanya perundingan atau tidak melalui prosedur yang benar.
"Selama ini layanan dari Pemerintah Kabupaten Mimika aktif disemua bidang di Distrik Alama. Sebagai kepala kampung saya dilantik
sebagai perangkat Pemerintah Kabupaten Mimika. Makanya saat ini kami menolak menjadi bagian dari Kabupaten
Nduga,” ungkapnya.
Kemudian Kepala Kampung Wuarem, Jupunus Gwijangge menjelaskan terkait
tapal batas wilayah administrasi yang saat ini dibuat Pemkab Nduga, tanpa izin masyarakat adat tujuh kampung.
“Saya dan seluruh masyarakat Kampung Wuarem menegaskan tetap menjadi bagian dari Kabupaten Mimika,” kata Jupunus.
Komitmen penolakan ini juga disampaikan oleh lima kepala
kampung lainnya yaitu kepala Kampung
Wandud, Mirianus Nirigi, Kepala kampung Purua, Es Lokbere, Kepala kampung
Pusue, Enias Gwijangge, Kepala kampung Ngeselema, Kuratus Gwijangge serta Kepala Kampung Kilimat, Mei Tabuni.
Selanjutnya perwakilan Gereja Kemah Injil se Tanah Papua di Alama,
Pdt Pilemon Wandikbo mengatakan penetapan batas wilayah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Nduga hanya melalui
pantauan udara tanpa bertemu dan sepakat bersama masyarakat dan tujuh kepala
kampung, dengan demikian tapal batas wilayah administrasi yang
dilakukan tersebut adalah tidak sah.
Sebab seharusnya melibatkan semua
unsur termasuk pemerintah kampung dan tokoh gereja.
“Kami perwakilan dari tokoh gereja menolak terkait tapal
batas wilayah administrasi yang telah dibuat Pemerintah Kabupaten Nduga, itu tidak benar. Kami tetap menjadi bagian dari Kabupaten Mimika dan itu tidak bisa digugat oleh
siapapun. Yang mereka tetapkan itu tidak sah dan ilegal,” ucap Pilemon.
Berikut perwakilan masyarakat, Ratus Gwijangge mengatakan bahwa
terkait penetapan batas wilayah administrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nduga
dan Pemerintah Kabupaten Mimika,
merupakan kesepakatan yang
dilakukan secara sepihak disalah satu hotel tanpa kehadiran masyarakat.
Menurut Ratus, sejak lama sebagian besar masyarakat dari
Distrik Alam berada di Kota Timika dan sebagian besar lainnya berada di
kampung.
Sejak lama pula 100 persen masyarakat Alama merasakan pembangunan dari Pemerintah Kabupaten Mimika, sehingga jika saat ini Pemerintah Kabupaten Nduga
mengklaim wilayah tujuh kampung itu maka hal itu tidak sah.
"Memang beberapa waktu lalu perwakilan Pemerintah Kabupaten Nduga
gelar bakar batu bersama masyarakat setelah tapal batas wilayah administrasi
itu dibuat, tapi itu tidak tahu dilakukan di mana dan tanpa adanya undangan dan
kesepakatan bersama seluruh masyarakat. Tata cara yang baik itu tidak seperti
itu. Bakar batu itu harusnya dilakukan melalui undangan resmi kepada masyarakat," katanya.
Disebutkan ini bukan merupakan persoalan dalam wilayah kecil tapi persoalan besar yaitu terkait wilayah administrasi, sehingga tidak boleh dianggap sepele. "Siapapun yang bertindak dan mengambil keputusan sendiri-sendiri itu tetap salah
dan tidak sah,” tutur Ratus.
Iapun meminta agar Pemerintah Kabupaten Nduga dan Pemerintah Kabupaten Mimika harus
membicarakan kembali persoalan ini agar tidak menjadi masalah di tengah
masyarakat.
“Jangan jadikan masyarakat seperti bola pimpong. Saya yakin
Bupati Nduga tahu selama ini berapa banyak warga Alama yang tinggal di Timika
dan sejauh mana pelayanan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Mimika,”
ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Tokoh Perempuan, Derna Lokbere. Ia menyebutkan sejak lama ketika ada masyarakat tujuh kampung di Alama mengalami sakit dan meninggal dunia tidak pernah mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Kabupaten Nduga.
Pelayana sejak lama sepenuhnya dilakukan Pemerintah Kabupaten Mimika, bukan Pemerintah Kabupaten Nduga. “Mewakili perempuan dari tujuh kampung saya menolak klaim tapal batas wilayah administrasi yang sudah dibuat. Itu tidak resmi dan tanpa diketahui
oleh masyarakat,” tegasnya.
Selanjutnya perwakilan mahasiswa, Ramlak Mindik menuturkan bahwa selama
ini warga tujuh kampung terakomodir dalam layanan Pemerintah Kabupaten Mimika dengan baik sehingga tidak bisa dipindahkan menjadi warga Nduga.
Penetapan terkait tapal batas wilayah administrasi yang
terjadi sangat tidak sesuai prosedur lantaran tidak diketahui oleh masyarakat, dengan demikian atas nama mahasiswa dia menolak tujuh kampung tersebut menjadi bagian dari
Kabupaten Nduga.
“Kami tidak bisa pindah menjadi warga Nduga, karena selama
ini yang melayani kami dari berbagai bidang adalah Pemerintah Kabupaten Mimika," ucapnya.
Dia juga mempertanyakan keseriusan Pemerintah Kabupaten Nduga dalam menyiapkan fasilitas layanan kesehatan, pendidikan dan yang lainnya seperti yang selama ini diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Mimika jika tujuh kampung itu diklaim masuk dalam wilayah Kabupaten Nduga.
"Karena ini menyangkut persolan layanan
kepada masyarakat jadi kami dari tujuh kampung sepakat tidak akan pindah ke Nduga
dan tetap di Mimika,” tegas Ramlak. (Acik)
0 komentar:
Posting Komentar