SALAM PAPUA (TIMIKA) — Dunia Katolik menyambut pemimpin baru dengan penuh harapan dan antusiasme. Kardinal Robert Francis Prevost dari Amerika Serikat resmi terpilih sebagai Paus ke-267 dalam sejarah Gereja Katolik dan memilih nama Paus Leo XIV. Ia menjadi Paus pertama yang lahir di Amerika Serikat, menandai babak baru dalam kepemimpinan spiritual global bagi lebih dari 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia.

Paus Leo XIV lahir di Chicago, Illinois pada 14 September 1955. Ia merupakan anggota Ordo Santo Agustinus (OSA) dan telah mengabdikan hidupnya dalam pelayanan pastoral, pendidikan, dan kepemimpinan rohani lintas benua, terutama di Amerika Latin. Karier pelayanannya dimulai dengan karya misi di Peru sejak 1985, di mana ia dikenal dekat dengan masyarakat miskin dan marginal.

Dalam perjalanan hidupnya, Prevost menjabat sebagai Prior Jenderal Ordo Agustinus dari tahun 2001 hingga 2013, sebelum diangkat sebagai Uskup Chiclayo oleh Paus Fransiskus pada 2015. Kepemimpinannya yang visioner dan dedikasi terhadap pembinaan imam membawanya ke Vatikan sebagai Prefek Dikasteri untuk Para Uskup pada tahun 2023, jabatan penting yang mengatur penunjukan para uskup di seluruh dunia.

Pemilihan dan Nama Kepausan

Setelah wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025, konklaf yang dihadiri oleh 133 kardinal dari seluruh dunia berlangsung selama tiga hari. Pada pemungutan suara keempat, Kardinal Prevost menerima suara mayoritas dan terpilih sebagai Paus. Ia kemudian memilih nama "Leo XIV", merujuk pada Paus Leo XIII, yang dikenal atas dedikasinya pada ajaran sosial Gereja dan hak-hak pekerja.

Pilihan nama ini menjadi isyarat simbolis bahwa Paus Leo XIV ingin membawa Gereja kembali pada semangat keadilan sosial, kesejahteraan umat, dan keterbukaan terhadap dinamika dunia modern.

Dalam pidato perdananya di Lapangan Santo Petrus, Paus Leo XIV menyerukan semangat perdamaian, dialog, dan solidaritas. Ia menekankan pentingnya membangun Gereja yang inklusif dan penuh kasih, terutama terhadap mereka yang tersisih dan terluka oleh ketidakadilan.

Paus baru ini dipandang sebagai sosok moderat yang menggabungkan semangat reformasi dengan kesetiaan terhadap ajaran Gereja. Ia diperkirakan akan melanjutkan berbagai reformasi yang telah dimulai oleh pendahulunya, Paus Fransiskus, terutama dalam hal tata kelola Gereja, perhatian terhadap lingkungan, dan penguatan peran awam dalam kehidupan Gereja.

Namun, Paus Leo XIV juga menghadapi sejumlah tantangan besar. Skandal pelecehan seksual yang belum tuntas, perdebatan seputar peran perempuan dalam Gereja, serta isu-isu sensitif seperti pengakuan terhadap umat LGBTQ+ akan menjadi ujian penting dalam masa kepemimpinannya. Di sisi lain, pertumbuhan pesat umat Katolik di Afrika dan Asia menuntut pendekatan yang lebih global, inklusif, dan kontekstual dalam kebijakan Gereja.

Pemilihan Paus Leo XIV disambut hangat oleh berbagai kalangan. Di Chicago, tempat kelahirannya, gereja-gereja lokal mengadakan misa syukur dan doa bersama. Sementara itu, di Peru, tempat di mana ia pernah melayani selama puluhan tahun, umat menyambut pengangkatan ini dengan rasa bangga dan haru. Banyak yang menyebutnya sebagai “Paus dari dua benua” simbol keterhubungan antara utara dan selatan global.

Harapan Baru bagi Gereja

Sebagai Paus yang memiliki pengalaman pastoral lintas budaya dan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial global, Paus Leo XIV diharapkan mampu menjadi jembatan antara tradisi dan pembaruan, antara doktrin dan kehidupan nyata umat. Ia hadir di tengah dunia yang terpecah dan penuh ketegangan, namun membawa pesan persatuan dan pengharapan yang kuat.

Dengan gaya kepemimpinan yang rendah hati, latar belakang multikultural, dan visi sosial yang tajam, Paus Leo XIV bersiap memimpin Gereja Katolik memasuki era baru—lebih terbuka, lebih inklusif, dan lebih dekat dengan umatnya. (AI)

Editor: Sianturi