SALAM PAPUA (TIMIKA) – Merkuri atau air raksa dikenal sebagai salah satu logam berat paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat ini sering ditemukan dalam aktivitas pertambangan emas tradisional, produk kosmetik ilegal, serta limbah industri, dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, makanan, kulit, atau air yang tercemar.

Meski terlihat tak kasat mata, merkuri memiliki dampak jangka panjang yang sangat serius. Paparan dalam jumlah kecil sekalipun, jika terjadi secara terus-menerus, dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf, ginjal, paru-paru, hingga mengganggu perkembangan otak pada janin.

Di wilayah Papua, khususnya Mimika dan sekitarnya, paparan merkuri paling banyak berasal dari aktivitas tambang emas rakyat yang menggunakan amalgamasi proses pencampuran emas dengan merkuri untuk memisahkannya dari batuan. Uap merkuri yang dilepaskan ke udara saat proses pembakaran dapat terhirup dan masuk ke tubuh manusia.

Tak hanya melalui udara, merkuri juga mencemari tanah dan air. Jika terakumulasi di dalam ikan atau tanaman, zat ini dapat masuk ke tubuh manusia melalui rantai makanan, menyebabkan efek keracunan kronis yang sulit dideteksi dini.

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Minamata, perjanjian internasional yang bertujuan mengurangi dan menghapuskan penggunaan merkuri secara bertahap. Namun di lapangan, pengawasan terhadap penggunaan merkuri, terutama di sektor informal, masih menjadi tantangan besar.

Masyarakat diimbau untuk: menghindari produk kosmetik atau bahan pemutih illegal Tidak membeli ikan dari perairan yang terkontaminasi merkuri, menggunakan alat pelindung diri jika terlibat dalam aktivitas tambang serta melaporkan temuan aktivitas penggunaan merkuri ilegal ke pihak berwenang.

Di Timika dan banyak wilayah lain di Papua, merkuri paling sering ditemui dalam dua bentuk: kosmetik pemutih ilegal dan aktivitas tambang emas tradisional. Kedua sektor ini menyentuh langsung kehidupan masyarakat kecil yang paling rentan, yang ironisnya justru minim informasi tentang bahaya yang mereka hadapi setiap hari.

Merkuri adalah neurotoksin kuat. Artinya, sekali masuk ke tubuh manusia, ia menyerang sistem saraf pusat. Anak-anak bisa tumbuh dengan gangguan konsentrasi, cacat bawaan, atau penurunan kecerdasan. Orang dewasa bisa mengalami gangguan motorik, sakit kepala kronis, kerusakan ginjal, bahkan kegagalan organ dalam jangka panjang. Ini bukan spekulasi ini fakta ilmiah yang didukung oleh puluhan studi global dan kasus nyata di lapangan.

Celakanya, keracunan merkuri sering kali tak terlihat secara langsung. Tidak ada gejala dramatis seperti pingsan atau muntah darah. Yang terjadi justru penurunan kualitas hidup yang perlahan: anak tak bisa belajar dengan baik, ibu hamil kehilangan janinnya, atau pekerja tambang mengalami gangguan syaraf tanpa tahu penyebabnya. Inilah mengapa merkuri disebut sebagai “racun diam-diam”.

Pemerintah memang telah mengambil langkah, seperti meratifikasi Konvensi Minamata, yang bertujuan menghapuskan penggunaan merkuri secara global. Tapi di akar rumput, kesadaran masih sangat minim. Edukasi hampir tidak menyentuh masyarakat kecil. Penegakan hukum lemah. Produk bermerkuri masih bebas dijual di toko daring, bahkan di pasar-pasar tradisional.

Kita tidak bisa terus membiarkan ini terjadi. Bahaya merkuri adalah isu kesehatan masyarakat, bukan hanya urusan industri atau lingkungan. Pemerintah daerah harus lebih agresif dalam mengedukasi masyarakat, melarang peredaran produk ilegal, dan menyediakan alternatif yang lebih aman bagi pelaku tambang dan pelaku usaha kecil.

Dan kita sebagai masyarakat juga punya peran. Jangan hanya mengejar hasil instan tanpa memikirkan dampaknya. Menolak kosmetik berbahaya, melaporkan aktivitas tambang bermerkuri ilegal, serta ikut menyebarkan informasi adalah bentuk tanggung jawab sosial kita bersama.

Beberapa gejala keracunan merkuri yang umum terjadi antara lain: Tremor (gemetar tanpa sebab), gangguan penglihatan dan pendengaran, rasa kesemutan di tangan dan kaki, iritasi kulit, sakit kepala dan gangguan tidur serta penurunan daya ingat dan konsentrasi.

Karena kalau bukan kita yang bersuara, racun itu akan terus menyebar perlahan, tapi pasti merampas masa depan kita. (AI)

Editor: Sianturi