SALAMPAPUA (MANOKWARI) - Satu di antara tradisi orang Papua yang dipertahankan turun-temurun hingga sekarang ada tradisi barapen atau bakar batu. Barapen atau bakar batu adalah tradisi memasak makanan berbahan daging, sayur-sayuran, dan umbi-umbian di media batu panas yang terlebih dahulu dibakar.

Masyarakat suku Biak atau di daerah pesisir laut Papua menyebutnya barapen. Penduduk suku Dani di daerah pegunungan dan pedalaman mengenalnya sebagai bakar batu. Wakil Dekan I Fakultas Sastra dan Universitas Papua, George A F Mentansan, mengatakan, terdapat sejumlah perbedaan cukup signifikan dari barapen versi dulu dan sekarang.

Awalnya, orang Papua melakukan barapen sebagai ungkapan syukur kepada Pemberi kehidupan, kesuburan tanah, dan hasil tangkapan laut yang melimpah. Upacara bakar baru juga dilangsungkan saat warga hendak membuka lahan, membangun rumah, hajatan atau ketika menyambut tamu.

Ratusan tahun lalu, ucapnya, rasa syukur itu dilambungkan kepada roh nenek moyang yang dipercaya mengerjakan segala sesuatu. Setelah orang asli Papua memeluk agama, barapen dilakukan sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Dari sisi religius khususnya dalam kepercayaan Kristen, istilah barapen akhirnya disebut juga sebagai bara api penuai," kata George Mentansan kepada TribunPapuaBarat.com di Manokwari, Kamis (13/10/2022).

Seiring penyebaran agama yang tumbuh subur di Tanah Papua, ucapnya, pada akhirnya barapen disandingkan dalam momen besar keagamaan. George Mentansan menyebut, kini cara memasak unik khas orang Papua itu sering dilakukan saat peletakan batu pertama pembangunan gereja atau saat bulan puasa bagi umat Muslim.

Selain itu, sekarang tradisi barapen juga digelar masyarakat untuk kepentingan pemerintah. Di antaranya untuk memeriahkan dan mengucap syukur saat hari ulang tahun pemerintahan. Menurut George Mentansan, barapen versi sekarang juga mengalami perubahan dari sisi menu makanan.

 

Jika dulu menu yang dimasak hanya ikan dan daging babi, sekarang bisa daging ayam dan sapi.

"Karena memang dulu masyarakat melaut dan berburu. Makanya yang sering dipakai juga babi hutan," kata lelaki keturunan Raja Ampat itu.

Ia berujar, variasi menu daging itu bukan hanya karena karena kelimpahan bahan bakunya. Itu juga sebagai sebuah wujud toleransi bagi sesama pemeluk agama yang tidak mengonsumsi daging babi.

"Lagi-lagi kita lihat peran agama terlibat dalam tradisi barapen ini," ujar George Mentansan.

Di era peradaban, kata George Mentansa, masyarakat adat Papua juga lebih memperhatikan sisi higienis barapen. Di antaranya mencuci bersih semua sayur-mayur dan bahan makanan lainnya sebelum dimasak.

 

Dulunya, setelah menunggu 5-8 jam dan aneka masakannya matang, cukup dibentangkan di atas daun pisang. Kemudian, warga makan bersama dengan posisi duduk saling berhadapan. Saat ini warga yang terlibat sudah terbiasa menyantap makanan barapen dari piring masing-masing.

Meski ada perubahan, ucap George Mentansa, dalam barapen tetap terselip nilai kehidupan yang sarat makna. Ada rasa syukur, gotong royong, rasa kekeluargaan, toleransi dan perdamaian. Itu semua pesan moral dalam barapen.

"Dalam barapen itu bukan makanannya yang penting, tapi semangat persaudaraan yang dibangun dan dipupuk di situ," kata George Mentansa.

Beberapa waktu lalu, para peneliti muda Papua Barat berhasil memperkenalkan sisi ilmiah barapen di kancah internasional. Mereka bahkan membuat inovasi makanan barapen siap santap yang disebut BARNI atau Barapen as a NewComer in Culinary Industry saat WICE.

BARNI adalah satu kotak makanan berisi daging sapi dan ayam, daun pepaya, petatas, dan sambal. Sebotol BARNI's extract mengandung enzim papain dari daun pepaya untuk melembutkan daging. BARNI's extract itu dapat memangkas waktu untuk mengempukkan daging saat barapen asli. (tribunpapuabarat.com)

Editor: Sianturi