SALAMPAPUA (JAKARTA)– Bisa jadi yang ada di benakmu soal tradisi berburu dan meramu hanya tinggal narasi dalam buku-buku sejarah di sekolah. Eits, tunggu dulu. Budaya itu masih eksis sampai sekarang. Pelakonnya, suku Bauzi di Mamberamo Raya, Papua.

Suku Bauzi hidup dan beranak-pinak di sekitaran Sungai Mamberamo. Sungai sepanjang 670 km itu menjadi bagian dari kehidupan suku Bauzi.  Dikutip dari tulisan Hari Sroto, "Tradisi Berburu Suku Bauzi di Mamberamo Raya" yang diterbitkan Balai Arkeologi Jayapura, sebagian besar dari mereka bermukim di daerah Mamberamo hulu.

"Kondisi geografi dan alam mempengaruhi sistem mata pencaharian mereka. Tradisi prasejarah terutama budaya berburu dan meramu masih berlangsung hingga saat ini di suku Bauzi," ujar Hari dikutip Senin (8/2).

Hari mengatakan, suku yang mendiami Mamberamo hulu dan tengah banyak mengandalkan pertanian, perkebunan dan menangkap ikan sebagai sumber makanan. Suku Bauzi masih mengandalkan hasil berburu sebagai mata pencaharian karena hewan yang masih relatif melimpah di sana.

Meski tinggal di daerah yang cocok untuk bertani, suku Bauzi lebih memilih berburu. Melimpahnya hewan buruan tentu menjadi alasan. Mereka enggan bercocok tanam karena menganggap berburu lebih efisien ketimbang berkebun, yang membutuhkan waktu lama.

"Suku Bauzi tergolong semi nomadis yang secara penuh memanfaatkan ekosistem yang ada di daerah teritorinya," ujar Hari.

Karena sifatnya yang semi nomaden, mereka lebih suka membangun rumah yang mudah dibongkar dengan cepat. Kata Hari, orang-orang Bauzi hidup dalam kelompok kecil, pengelompokan itu berdasarkan marga.

Masing-masing kelompok menguasai suatu areal sagu di dekat sungai. Area itu umumnya mudah diakses dengan perahu dan jalan setapak di hutan.

"Selama periode mencari makanan dan berburu dalam hutan hujan di dataran rendah, ada kemungkinan suku Bauzi menanam pisang dan ubi kayu," ujar Hari.

Suku Bauzi memilih kedua jenis tanaman itu karena keduanya tak membutuhkan perhatian setiap hari. Selain itu, Suku Bauzi juga suka memelihara anak babi hasil tangkapan. Namun, beternak hanya aktivitas sekali-sekali.

Selama berburu, panah dan tombak menjadi alat berburu. Tombaknya terbuat dari kayu nibung atau kayu keras lainnya. Mata tombak dibuat runcing, sedangkan tangkainya bulat dan panjangnya 3–4 meter.

Pemburu Buaya

Suku Bauzi memburu apa-apa saja yang mereka temui di hutan. Semisal babi, tikus pohon, rusa, tikus tanah, maleo, ayam hutan, kasuari, kuskus dan buaya. Untuk buaya, pasti bukan hanya dagingnya saja yang dimanfaatkan. Kulit buaya hasil buruan juga akan dibawa pulang.

 

Teknik berburu buaya secara tradisional memiliki ciri khas. Beberapa pria harus menyelam. Alat yang dipakai hanya tali rotan. Kadang pemburu juga mempergunakan alat penikam. Bahan untuk membuat alat penikam yaitu kayu nibung.

Batang nibung yang telah dibelah dibuat runcing pada ujungnya. Sementara di badan batang diberi gerigi. Panjang alat berburu ini sesuai keinginan si pemburu. Mata alat penikam itu diikat tali melinjo dan diberi perekat dari getah sukun.

Setelah peralatan siap, mereka menaiki perahu mencari sarang buaya. Umumnya mereka berburu pada siang hari. Jika sudah menemukan incaran, salah satu orang akan berenang sambil membawa beberapa utas tali dan akan mencari bayangan buaya di dasar sungai.

Sang pemburu yang berenang mencari buaya itu bergerak dengan insting. Apabila sudah melihat bayangan buaya di dasar sungai, ia akan menyelam mendekati buaya dari belakang.

Ia akan menyerang buaya apabila mata sang reptil tertutup. Namun apabila mata buaya terbuka, suku Bauzi yang menyelam akan langsung pergi mencari mangsa baru. Jika mata buaya terpejam, skenarionya adalah melingkarkan seutas tali di moncong buaya dan tali lainnya di kedua kaki depan buaya.

Sementara mereka yang di atas kapal akan ke darat dan bersiap menarik ujung tali lainnya. Mereka akan langsung menghajar si buaya hingga tewas. Setelah dibunuh, mereka akan berbagi. Biasanya kulit kepala akan dibawa si pemburu yang berenang. Sebab kepercayaan suku Bauzi, bagian itu merupakan titik roh buaya. Sehingga dianggap bisa menambah keterampilan ketika kelak ingin berburu.

Sementara dagingnya akan dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Kemudian orang-orang Bauzi memanfaatkan lemak buaya untuk memasak sagu, juga digunakan sebagai obat malaria.  Kemudian tengkorak dan giginya dipakai sebagai hiasan. (Validnews)

Editor: Sianturi