SALAM PAPUA (TIMIKA) - Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) dan tokoh-tokoh masyarakat desak Pemerintah Provinsi Papua Tengah, dalam hal ini Pj Gubernur, Ribka Haluk agar turun tangan dalam menyelesaikan persoalan tapal batas antar Kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai di wilayah Kapiraya, Distrik Mimika Barat Tengah, Kabupaten Mimika.

Ketua Lemasko, Gregorius Okoare menyatakan, Pj Gubernur Ribka Haluk harus mempertemukan para bupati dari tiga kabupaten dan masing-masing tokoh masyarakat, guna membahas dan membentang peta wilayah masing-masing agar polemik yang terjadi segera berakhir.

"Ibu PJ Gubernur saya minta panggil masing-masing bupati dengan tokoh-tokoh masyarakatnya, karena kita tahu sudah ada batas wilayahnya masing-masing. Kita tidak mau polemik di Kapiraya terus terjadi," kata Gregorius, Kamis (5/9/2024) di kediamannya di Jalan Serui Mekar Timika.

Menurut Gregorius, polemik yang selama ini terjadi di Kampung Wakia merupakan ulah dari sekelompok orang yang sengaja masuk ke wilayah adat suku Kamoro, dengan tujuan mencaplok dan prioritas utamanya adalah mengeruk emas yang ada.

"Karena di Wakia itukan ada madu dan gula, yaitu emas, sehingga oknum-oknum itu datang dan berupaya mengklaim. Padahal secara tapal, batasnya itu sudah ada wilayahnya masing-masing. Seperti Dogiyai dan Deiyai itu wilayahnya mereka ada di atas," tuturnya.

Terkait tapal batas menurut dia, telah ada kejelasan bahwa yang diklaim kabupaten lain merupakan wilayah adat orang Mimika. Berdasarkan sejarah, hingga zaman Belanda dan zaman Mimika masih merupakan bagian dari Kabupaten Fak Fak, dan Kapiraya adalah milik orang Mimika.

"Ini bukan baru pertama kali, sebab di zamannya almarhum Klemen Tinal itu juga sudah dibicarakan dan sudah jelas tapi kenapa sekarang muncul lagi," pungkasnya.

Iapun berharap, unsur Forkopimda dari tiga kabupaten agar melakukan pertemuan dan menjadikan kisruh tapal batas ini sebagai atensi khusus, guna mengantisipasi adanya konflik berkepanjangan.

"Bila perlu harus ada tugu perbatasan, biar semuanya jelas," ujarnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh tokoh masyarakat Kamoro, Marianus Maknaipeku dan berharap, persoalan tapal batas ini harus diselesaikan dengan sebaik mungkin. 

"Masalah tapal batas di sana itu urusan pemerintah dan secara UU, itu sudah sah merupakan bagian dari Mimika," kata Marianus.

Marianus juga menyebutkan, bahwa saling klaim tapal batas ini kembali terjadi, dengan hadirnya oknum-oknum yang berambisi merampas potensi kekayaan alam yang ada di Kapiraya.

Sementara itu, Kepala Kampung Wakia, Frederikus Warawarin menyampaikan bahwa wilayah pemerintah Kabupaten Mimika itu sudah diterbitkan berdasarkan wilayah adat Suku Kamoro. Namun, kemudian masuk sekelompok orang dari Deiyai dan Dogiyai, dan membuat aksi untuk merampas haknya warga  Mimika, sehingga warga Mimika pun dengan  kokoh mempertahankan tanah adatnya.

"Kalau memang ada haknya orang Deiyai dan Dogiyai di wilayah orang Mimika tolong diceritakan sejarahnya. Jangan membangun opini yang tidak jelas dan membuat gaduh di media, sehingga timbul permasalahan yang mengancam kamtibmas baik itu di Mimika maupun di Deiyai dan Dogiyai," tegas Frederikus.

Sebagai pemerintah di wilayah Mimika Barat Tengah, Frederikus juga bertekad menempuh jalur hukum jika kelompok-kelompok dari Dogiyai dan Deiyai tetap mengklaim tapal batas dimaksud.

"Kita akan tempuh jalur hukum jika mereka masih ngotot," tutupnya.

Penulis: Acik

Editor: Sianturi