SALAM PAPUA (TIMIKA)- Dampak pernikahan dini penting untuk dikenali dan diantisipasi. Ini karena pasangan yang masih berusia terlalu muda cenderung belum memiliki kesiapan untuk menjalani komitmen dalam kehidupan berumah tangga. Tidak hanya dialami oleh pasangan suami istri yang masih belia, dampak pernikahan dini ini pun bisa dialami oleh anak maupun keluarga lainnya.
Menurut Undang-Undang tentang Perkawinan tahun 2019, batas usia laki-laki dan perempuan untuk menikah adalah 19 tahun. Melakukan pernikahan di bawah usia ini dikatakan sebagai pernikahan dini. Sementara menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), usia ideal perempuan untuk menikah adalah 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.
Alasan adanya batasan usia menikah karena seseorang yang di bawah umur dianggap belum matang secara fisik, emosional, dan psikologis untuk menjalani kehidupan pernikahan yang memiliki banyak tantangan seumur hidup.
Jika remaja di bawah umur didorong atau bahkan dipaksa untuk menikah, ada banyak dampak pernikahan dini yang bisa dialami. Selain karena emosi yang cenderung belum stabil, berbagai faktor lain, seperti faktor ekonomi, juga akan memengaruhi kesejahteraan kehidupan pernikahan kelak.
Berbagai Dampak Pernikahan Dini yang Perlu Diperhatikan
Ada banyak dampak pernikahan dini yang bisa dialami oleh pelakunya. Dampak ini mungkin tidak terasa langsung sehingga kerap kali diabaikan. Untuk lebih jelasnya, inilah berbagai dampak pernikahan dini yang penting untuk diketahui:
1. Merasa terisolasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pernikahan dini artinya seseorang menjalani pernikahan di bawah usia 19 tahun. Masa usia ini idealnya adalah masa di mana seseorang masih mencari jati diri, mempelajari banyak hal, menempuh pendidikan, serta menjelajahi berbagai pengalaman hidup.
Namun, semua hal tersebut bisa saja terhambat karena ikatan pernikahan, tugas menjadi seorang istri atau suami, serta sebagai orang tua. Akibatnya, dampak pernikahan dini membuat seseorang terbebani dengan tanggung jawab yang besar dan merasa terisolasi.
Hal ini bisa membuat ia sulit untuk menentukan langkah hidup dan bahkan tidak bisa mengejar cita-cita yang mungkin sebetulnya masih terpendam.
2. Stres
Banyak yang beranggapan bahwa menikah adalah solusi dari masalah kehidupan saat menjadi lajang, sehingga ini menjadi salah satu alasan dilakukannya pernikahan dini. Namun, dalam pernikahan terkadang muncul masalah yang bisa memicu stres, apalagi bagi pasangan muda yang masih belum stabil secara emosional.
3. Risiko terjadinya KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lebih sering dialami oleh seseorang yang menjalani pernikahan dini. Korban dari KDRT bisa siapa saja yang terlibat dalam rumah tangga, seperti suami, istri, atau bahkan anak.
Pemicunya bisa karena banyak hal, tetapi dasarnya adalah emosi yang masih belum stabil dan belum mampu untuk menemukan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.
Tidak hanya secara fisik, KDRT juga bisa secara seksual dan emosional. Dampaknya, korban KDRT akan merasa tidak berdaya, mengalami trauma mendalam atau luka batin, dan selalu merasa gelisah atau bahkan depresi.
4. Risiko terkena kanker serviks
Menurut penelitian, melakukan hubungan seks sebelum usia 18 tahun dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, penerapan seks yang aman dan sehat tidak banyak diketahui oleh anak di bawah umur karena mungkin tidak memiliki bekal pendidikan seks yang cukup.
Selain itu, tidak sedikit remaja juga yang tidak mendapatkan vaksin HPV sebelum pernikahan, sehingga risiko terkena kanker serviks akan makin meningkat.
5. Risiko terkena komplikasi kehamilan
Dampak pernikahan dini juga bisa membahayakan calon anak yang dikandung. Pasalnya, kehamilan di usia muda berisiko lebih tinggi untuk menyebabkan komplikasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko preeklamsia cenderung lebih tinggi terjadi pada kehamilan remaja.
Selain itu, risiko terjadinya komplikasi kehamilan lain, seperti pecah ketuban dini dan kelahiran prematur, juga lebih tinggi terjadi pada ibu hamil yang berusia terlalu muda.
6. Risiko perceraian lebih tinggi
Perceraian juga merupakan dampak pernikahan dini yang sering terjadi. Pemicunya bisa karena banyak faktor, seperti pola pikir yang belum dewasa, belum mampu mengontrol emosi dengan baik, tidak tahu cara menyelesaikan masalah dengan bijak, masalah ekonomi, atau tekanan dari lingkungan sekitar dan keluarga.
Dampak perceraian tidak hanya memengaruhi pasangan muda, tetapi juga pada anaknya, jika memang sudah dikarunia anak.
Perlu ditanamkan dalam pikiran bahwa pernikahan belum tentu merupakan solusi yang tepat untuk menghadapi berbagai masalah hidup. Pernikahan bisa saja membawa lebih banyak masalah baru yang belum tentu bisa dihadapi dengan bijak oleh anak di bawah umur.
Karena berpengaruh besar terhadap kesejahteraan hidup, pernikahan seharusnya tidak dilakukan semata-mata untuk melaksanakan kewajiban sebagai individu yang berbudaya dan beragama. Untuk menjalani pernikahan dibutuhkan kesiapan fisik dan mental yang matang agar pernikahan terjalin dengan damai, bahagia, dan langgeng.
Jika Anda adalah salah satu orang yang menjalani pernikahan dini dan mulai merasakan dampaknya, jangan ragu untuk melakukan konseling dengan psikolog atau dokter. Sesi konseling ini bisa dijalani melalui chat dan kerahasiaan Anda pun akan terjamin sepenuhnya.
Nantinya, psikolog akan memberikan serangkaian perawatan yang tepat agar Anda bisa sembuh dari berbagai masalah mental akibat dampak pernikahan dini dan kembali melanjutkan kehidupan yang sejahtera. (Alodokter)
Editor: Sianturi