SALAM PAPUA (TIMIKA)- Anggota DPR Papua Tengah dari Komisi IV yang membidangi Infrastruktur dan Sumber Daya Alam (SDA), Peanus Uamang, S.HI meminta agar dilakukan evaluasi terhadap kinerja pembangunan Lapangan Terbang (Lapter) di Distrik Hoeya untuk Tahun Anggaran 2024 sebelum proyek tersebut dilanjutkan.

Bahkan ia menyarankan agar proyek pembangunan ini dijadikan proyek multiyears (tahun jamak), dengan alokasi anggaran maksimal Rp10 miliar per tahun agar lebih realistis dan terukur.

Pasalnya, proyek pembangunan Lapter Hoya yang dikerjakan oleh PT Lestari ASI Sejahtera menelan anggaran sebesar Rp30 miliar. "Anggaran sebesar itu cukup besar, sehingga saya sebagai anggota DPR Papua Tengah yang berasal dari Distrik Hoeya meminta agar dilakukan evaluasi. Kita harus sama-sama mengetahui apakah kinerja di lapangan sesuai dengan dana yang telah dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten Mimika atau tidak," ujar Peanus saat menghubungi Redaksi Salampapua.com, Rabu (9/4/2025).

Ia menegaskan bahwa pihaknya mendukung pembangunan Lapter Hoeya, namun pengawasan dari berbagai unsur sangat diperlukan. 

"Sebelum evaluasi dilakukan, saya sebagai intelektual dan pengawas dari jauh atas semua pembangunan di Distrik Hoya, termasuk pembangunan Lapter ini, menyampaikan bahwa anggaran Rp30 miliar untuk tahun 2024 harus diawasi ketat. Jangan sampai Distrik Hoya dijadikan tempat mencari keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Pembangunan harus dilakukan dengan serius dan tuntas agar pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik," tegasnya.

Peanus juga menambahkan bahwa sebelum melanjutkan pembangunan Lapter Hoya pada tahun anggaran 2025, proyek tahun 2024 harus dievaluasi terlebih dahulu. "Bagi kami, proyek ini sangat besar nilainya. Dinas Perhubungan telah mengalokasikan dana yang signifikan untuk tahun 2024 dan 2025. Namun, besar anggaran itu tidak sebanding dengan volume pekerjaan yang terlihat di lapangan," ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa pekerjaan di wilayah pegunungan seperti Distrik Hoya tidak bisa disamakan dengan pekerjaan di wilayah kota atau pesisir. 

"Banyak tantangan dan hambatan, mulai dari iklim, cuaca, hingga waktu kerja yang terbatas. Di wilayah pegunungan, waktu kerja normal hanya sekitar 4 sampai 5 jam per hari, itu pun sangat tergantung pada curah hujan dan kabut. Akibatnya, pekerjaan tidak dapat berjalan maksimal," jelas Peanus.

"Dimohon kepada pihak yang berwenang untuk mengaudit pelaksanaan proyek tahun 2024. Apakah pekerjaan telah selesai sesuai dengan anggaran yang dialokasikan atau belum. Jika tidak, maka harus ada pengembalian anggaran ke kas daerah," katanya.

Peanus juga menyoroti proyek pembangunan Puskesmas Pembantu (PUSTU) di Distrik Hoya yang hingga kini belum diselesaikan, dan meminta agar proyek tersebut juga menjadi perhatian pemerintah.

Penulis/Editor: Sianturi