SALAM PAPUA (OPINI) - Pemilihan Umum (Pemilu) yang dikenal dengan pesta demokrasi, untuk di tanah Papua telah berubah menjadi "PASAR BEBAS SUARA RAKYAT".  Yang terjadi di lapangan adalah Pemilu transaksional secara telanjang, tanpa rasa berdosa, malu dan takut. Pemilu LUBER (langsung, umum, bebas dan rahasia) sangat sulit dicapai.

Apabila bangsa Indonesia mau menekan grafik kejahatan demokrasi yang meningkat secara tajam,  mesti merubah sistem Pemilu, karena sistem Pemilu kita ini telah memberikan ruang kejahatan  bertumbuh subur. Salah satu contoh konkrit pemilihan legislatif di tanah Papua.

Kami mengikuti selama Pileg di tanah Papua, yang terjadi di lapangan adalah "PASAR BEBAS SUARA RAKYAT". KPPS dan PPD secara vulgar dan telanjang melakukan transaksi suara rakyat.

Dengan berlakunya sistem noken atau sistem ikat di Papua, telah menjadi momentum bagi KPPS, PPD mencari uang secara leluasa.

Epicentrum kejahatan demokrasi ada dalam lembaga penyelenggara (KPPS, PPS, PPD, KPU, Bawaslu).  Suara hati nurani rakyat dengan mudah diperjualbelikan demi rupiah. Para Caleg non orang Papua, elit politik lokal (Bupati, Mantan Bupati dll) tanpa rasa berdosa, takut dan malu ikut terlibat dalam transaksi suara rakyat tersebut.

Awalnya, para elit politik lokal (Bupati dll) mulai bermanuver sejak pembentukan tim seleksi KPU Provinsi, Bawaslu Provinsi maupun Kabupaten. Mereka mampu menerobos KPU dan Bawaslu  Pusat untuk mengatur tim seleksi tersebut. Selanjutnya melalui tim seleksi, mereka mengamankan orang-orang yang sudah disiapkan untuk masuk sebagai anggota komisioner KPU Provinsi, Bawaslu Provinsi, KPU Kabupaten, Bawaslu Kabupaten. Tidak hanya sebatas itu, tetapi para elit politik lokal pun berlomba-lomba turun gunung dengan kepentingan masing-masing, bahkan ada yang pasang badan untuk Caleg DPR RI tertentu demi kepentingan partainya maupun sebagai jaminan agar mudah mendapatkan rekomendasi partai menuju calon Gubernur Provinsi Papua Tengah.

Di dalam transaksi ada kesepakatan harga serta jumlah suara antara KPPS, PPD dengan para Caleg non orang Papua, elit politik lokal dll. Caleg non orang Papua maupun elit politik lokal mampu berbelanja suara rakyat dengan uang sangat besar. Misalnya saja, 1 KPPS atau 1 PPD harganya Rp 200 juta – Rp 300 juta, maka bisa mendapat porsi suara sangat besar. Perolehan suara malaikat tersebut rata-rata ribuan suara, sedangkan Caleg yang membayar dengan puluhan juta ke KPPS, PPD  bisa mendapat 50 suara, 100 suara, dll. Bahkan banyak Caleg orang asli Papua di kampungnya sendiri tidak dapat suara (0). Inikan aneh.

Contoh: Masyarakat di Papua Tengah tidak mengenal dan tidak pernah memilih Caleg DPR RI non orang asli Papua, tetapi kenyataannya mereka bisa peroleh jumlah suara sangat tinggi di tingkat KPPS dan PPD dibandingkan dengan Caleg-Caleg orang asli Papua (alat bukti C1). Bahkan Caleg orang asli Papua di kampungnya sendiri banyak yang tidak dapat suara (0). Caleg DPR RI non orang asli Papua tersebut nasibnya sangat mujur. Ilmu rampok suara orang asli Papua serta strategi yang digunakan tingkat dewa.

Kejahatan ini dilindungi oleh Bawaslu Kabupaten maupun KPU Kabupaten, karena perolehan suara hasil kejahatan di tingkat KPPS maupun PPD tersebut dilegalkan oleh KPU maupun Bawaslu dalam pleno KPU tingkat kabupaten. Gakkumdu pun tidak berfungsi.

Sistem Pemilu ini telah membuka lebar ruang kejahatan serta momentum bagi lembaga penyelenggara untuk mendapatkan uang haram dengan cara-cara kotor.

Epicentrum kejahatan demokrasi di tanah Papua ada dalam lembaga penyelenggara serta elit politik lokal (Bupati, mantan Bupati dll).

Bagi para Caleg yang sudah memiliki alat bukti kejahatan yang kuat di tingkat KPPS, PPD, KPU, BAWASLU, bisa ke MK ataupun DKPP. Walaupun melalui keputusan MK maupun DKPP tidak akan pernah mencabut akar kejahatan di bangsa ini. Keputusan MK maupun DKPP ini ibarat mengusap asapnya saja tanpa memadamkan api.

Untuk memutus mata rantai kejahatan ini, bangsa Indonesia mesti merubah sistem Pemilu yang bobrok, sistem yang melindungi atau memupuk kejahatan serta Pemilu transaksional ini.

Dengan melihat kondisi ini, menurut hemat kami, sistem yang akan menekan grafik kejahatan demokrasi ini adalah dengan menggunakan "sistem e-election".  Sistem Pemilu elektronik dimana pencoblosannya dengan menggunakan sidik jari, maka “one man one vote” akan tercipta. Grafik kejahatan akan menurun ke titik terendah.

Apabila sistem e-election ini berlaku, maka lembaga penyelenggara yang selama ini  menjadi epicentrum kejahatan demokrasi, tidak akan pernah ada lagi. Sistem e-elections ini sudah berlaku di banyak negara, sehingga Indonesia bisa keluar untuk melakukan studi banding.

Pada tahun 2009, hasil riset UNFREL (Asian Network For Free Elections) bahwa kejahatan demokrasi terbesar terjadi di negara Indonesia dan lebih khususnya di pedalaman Papua. Dengan sistem noken, sistem ikat telah memberikan ruang kepada KPPS, PPD, KPU melakukan perdagangan suara hati nurani rakyat secara bebas. (ANFREL adalah lembaga demokrasi terbesar di dunia dan berkedudukan di Bangkok).

Dalam bangsa ini, Pancasila sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa", sudah diubah menjadi "Keuangan Yang Maha Kuasa". Uang adalah segalanya. Orang sudah tidak takut lagi sama Tuhan.

Catatan untuk Orang Asli Papua. Untuk Caleg DPR RI Pemilu tahun 2029, bisa siapkan dana paling sedikit Rp 10 M.

Penulis: Sam, Deiyai