SALAM PAPUA (TIMIKA) – Pemilik Hak Ulayat tiga lembah wilayah konsesi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang meliputi Waa, Tsinga dan Arwanop, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, menyerahkan surat Mandat kepada Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Rabu (15/3/2023).

Surat Mandat ini diserahkan mengingat masyarakat mengetahui bahwa PTFI akan meningkatkan limbah sekitar 300.000 Ton ke Kali Agap Oghong dan beberapa Kali di sekitarnya. Masyarakat selaku pemilik Hak Ulayat tiga lembah merasa bahwa merekalah yang menjadi korban langsung permanen atas limbah dimaksud sehingga meminta dilibatkan dalam pembahasan bersama tim AMDAL.

Melalui AMDAL, masyarakat tiga lembah juga mengaku mempunyai hak sebagaimana yang diamanatkan dari IUPK dan Peraturan Pemerintah terkait dampak lingkungan. Sebab menurut mereka, masyarakat yang terkena dampak langsung harusnya terlibat dalam tim AMDAL, tetapi faktanya masyarakat tiga lembah tidak dilibatkan.

“Mudah-mudahan dengan kepercayaan masyarakat ke Lemasa untuk persoalan ini, maka masyarakat sebagai yang merasakan dampak langsungnya bisa dilibatkan. Dalam AMDAL yang sudah ada itu untuk masyarakat Kamoro sudah terakomodir, tapi masyarakat Amungmenya belum ada. Mudah-mudahan dengan Amanat ini bisa mengakomodir suara masyarakat Amungme juga, karena AMDAL ini dilaksanakan dengan waktu yang lama, yaitu sampai tahun 2041,” ungkap Nagawan Amungeme (Presiden) Lemasa usai menerima Surat Mandat dari tokoh-tokoh tiga lembah di Kantor Yayasan Generasi Amungeme Bangkit (YGAB) di Jalan Perjuangan, Kelurahan Timika Indah, Mimika, Rabu (15/3/2023).

Adapun disebutkan, beberapa waktu lalu tim AMDAL yang  dibentuk PTFI adalah bukan merupakan warga yang benar-benar sebagai pemilik hak Ulayat. Karena itu, diharapkan pemerintah dan PTFI tidak mengabaikan masyarakat tiga lembah karena merekalah yang terkena dampak langsung secara permanen.

“Selama perusahaan PTFI masih menghasilkan, semoga masyarakat betul-betul merasakan manfaatnya dari semua sisi. Jangan sampai begitu operasi perusahaan selesai, masyarakat ini menjadi miskin di atas tanahnya sendiri,” katanya.

Lebih lanjut disampaikan, Lemasa ada bukan sebagai penguasa atau yang berkuasa, tetapi Lemasa dibentuk berdasarkan mandat dari masyarakat Amungme. Dalam hal ini, masyarakat Amungme yang memberikan legitimasi kepada pemimpin  Lemasa. Kemudian, Lemasa berdiri mengepalai 13 wilayah adat dan satu wilayah adat Diaspora.

“Jadi lembaga itu tidak bisa secara perorangan mengatasnamakan masyarakat untuk menyetujui apapun. Kecuali untuk kepentingan besar seluruh masyarakat, maka Lemasa yang akan tanda tangan. Misalnya MoU tahun 2000 itu kesepakatan umum, sehingga Lemasa tanda tangan,” katanya.

Demikian juga terkait Hak Ulayat. Hak Ulayat merupakan hak Ketuhanan, karena dari Tuhan mereka dijadikan sebagai pemilik tanah di mana saat ini PTFI beroperasi. Saat ini Lemasa menerima aspirasi dari masyarakat tiga lembah yang intinya memohon kepada Lemasa untuk mengayomi, melindungi serta memfasilitasi mereka untuk bertemu dengan pihak-pihak pengambil keputusan, dalam hal ini PTFI sebagai perusahaan bisnis dan Pemerintah sebagai regulator.

“Untuk persoalan Hak Ulayat ini, Lemasa harus berperan sebagai fasilitator untuk memfasilitasi tuan-tuan tanah ini guna membicarakan hak-hak hidup, baik gunung dan tempat-tempat keramat. Semua itu kita fasilitasi agar hak-hak itu bisa sampai ke masyarakat dengan baik,” katanya.

Mandat yang telah diberikan oleh masyarakat tiga lembah ini menjadi tanggungjawab besar Lemasa untuk dilanjutkan ke pihak-pihak terkait.

“Jadi Lemasa tidak bertujuan untuk menantang atau berperang dengan siapapun termasuk pemerintah dan PTFI, tapi hanya mau sampaikan aspirasi masyarakat. Apalagi tujuan Lemasa sejak awal yaitu untuk damai. Lemasa berdiri bekerjasama dengan pemerintah untuk persoalan pembangunan, juga untuk menyelesaikan masalah-masalah secara mandiri,” katanya.

Dikatakan, masyarakat tiga lembah ini merupakan objek yang merasakan secara langsung atas adanya AMDAL. Oleh karena itu sebagaimana fungsinya, Lemasa akan membantu menyelesaikan masalah AMDAL dengan cara bekerja sama dengan PTFI dan Pemerintah agar memastikan hak-hak masyarakat tiga lembah bisa terakomodir.

“Kami akan menyuarakan ini ke pihak-pihak terkait. Sebagai pemegang mandat dari masyarakat, Lemasa tetap akan menghormati aspirasi warga tiga lembah. Kita tahu ketika masyarakat berbicara sendiri-sendiri, itu tidak akan didengar. Makanya saat ini masyarakat suarakan lewat Lemasa. Itu yang diharapkan masyarakat Amungeme,” ujarnya.

Sementara Tokoh masyarakat tiga lembah, Yunus Omabak menyampaikan bahwa persoalan AMDAL terjadi sejak lama dengan banyak korban. Sejak Mimika masih bagian dari Fak-Fak, pihaknya pun telah menyuarakan pemenuhan hak-hak sesuai UU.

“Yang mengalir di kali Agap Oghong itu bukan hanya emas yang mengalir, tapi juga darah masyarakat. Jadi pembahasan AMDAL ini harus libatkan kami,” ungkapnya.

Melalui Lemasa, masyarakat tiga lembah menghendaki supaya pemerintah dan PTFI dapat melihat dan mendengar keluhan yang saat ini dialami. Sebagai pemilik hak Ulayat, warga tiga lembah juga terikat dalam adat yang kemudian disatukan dalam Lemasa, sehingga hak-haknya harus dipenuhi.

“Tolong pemerintah dan PTFI dengar ini,” tegasnya.

Sedangkan Tokoh  masyarakat Waa Banti, Yanes Natkime mengatakan bahwa masyarakat ada di tengah-tengah kali pembuangan limbah PTFI. Lama kelamaan jika pembuangan akan ditingkatkan, maka secara pasti kampung Banti akan hanyut. Jika Banti hanyut, masyarakat dipindahkan kemana?

Yanes berharap dalam persoalan ini, PTFI membuka diri dan melibatkan pihaknya untuk mengkaji dampak apa yang akan menimpa masyarakat sekitar. Geotech Departemen Engineering harus memberikan gambaran terperinci kepada Lemasa sebelum semuanya berjalan.

“Sebelum pembuangan dengan kapasitas tinggi itu berjalan, maka harus dibicarakan secara terbuka dari Geotech Departemen Engineering. Itu permintaan saya sebagai orang Amungeme melalui Lemasa. Lemasa rumah kami orang Amungeme, makanya hari ini kami serahkan aspirasi kami melalui Lemasa,” ungkap Yanes.

Yanes menambahkan, saat ini Amungme hanya satu dan tidak ada lagi yang berdiri secara berkelompok.

“Berarti suara Amungeme hanya disampaikan melalui Lemasa dengan Menuel Magal selaku Mandatori atau Amungeme Nagawan, Fransiskus Pinimet sebagai Direktur, dan Mesak Bugaleng sebagai Wadirnya,” ungkapnya.

Terkait Lemasa yang sah juga disampaikan Wakil Direktur Lemasa, Mesak Bugaleng. Ia mengaku jika ada oknum lain yang mengaku sebagai Lemasa, maka itu hanyalah sebuah perkumpulan. Demikian juga dengan oknum yang memiliki logo dan mengklaim sebagai logo Lemasa adalah tidak benar.

“Yang jelas setelah Musdat kepengurusan Lemasa yang baru sudah ada dan sah, Lemasa hanya satu,” kata Mesak.

Watawan : Acik

Editor : Jimmy