SALAM PAPUA (TIMIKA)- Ketika kita berbicara tentang
kecerdasan buatan (AI), sering kali fokus kita tertuju pada hasil akhirnya mobil
yang bisa menyetir sendiri, chatbot yang bisa bercakap seperti manusia, atau
aplikasi yang bisa mengenali wajah dalam hitungan detik. Namun di balik semua
itu, ada satu fondasi yang menopang lompatan besar ini: deep learning.
Sebagai seseorang yang mengikuti perkembangan teknologi dari
dekat, saya meyakini bahwa deep learning bukan sekadar instrumen teknis. Ia
adalah refleksi dari ambisi terdalam manusia: untuk menciptakan sebuah sistem
yang tidak hanya menghitung, tapi memahami.
Dalam banyak hal, deep learning menyerupai cara anak kecil
belajar mengenali dunia. Kita menunjukkan ribuan gambar anjing kepada sebuah
model deep learning, dan perlahan ia mulai bisa membedakan mana anjing, mana
kucing, bahkan tanpa kita menjelaskan apa itu telinga atau ekor. Bukankah itu
seperti anak-anak yang belajar berbicara tanpa tahu dulu aturan tata bahasa?
Ini mengingatkan saya bahwa deep learning bukan hanya
sekumpulan persamaan matematis yang rumit. Ia adalah upaya untuk meniru sesuatu
yang paling kompleks dalam semesta ini—pikiran manusia.
Namun, di balik kecanggihannya, deep learning tetaplah
mesin. Ia cerdas, tapi tidak sadar. Ia bisa mengenali pola, tapi tidak memahami
makna. Ia bisa menulis puisi, tapi tidak merasakannya. Di sinilah letak
paradoksnya: kita menciptakan sesuatu yang meniru pikiran, tapi tidak memiliki
jiwa.
Itulah mengapa saya percaya bahwa deep learning bukan
ancaman, melainkan alat. Ia hanya sekuat nilai-nilai yang kita tanamkan ke
dalam penggunaannya. Mobil otonom bisa menyelamatkan jutaan nyawa atau
sebaliknya, jika disalahgunakan. AI bisa mengungkap penipuan, tapi juga bisa
menyebarkan informasi palsu.
Pertanyaan yang patut kita renungkan bukan hanya “sejauh apa
deep learning bisa berkembang?”, tapi “sejauh mana kita siap bertanggung jawab
terhadapnya?”. Dunia membutuhkan lebih banyak etika digital, bukan sekadar
kecanggihan teknis. Sebab di masa depan, tantangan terbesar bukanlah apakah
mesin bisa berpikir, tapi apakah manusia bisa berpikir bijak dalam menciptakan
dan menggunakan mesin.
Deep learning telah membuka era baru dalam sejarah peradaban
manusia. Tapi jika kita hanya mengejar kecerdasan buatan tanpa membangun
kebijaksanaan manusia, kita hanya akan menciptakan mesin yang pintar namun
kosong.
Maka dari itu, saya meyakini bahwa masa depan deep learning
bukan hanya ditentukan oleh kecepatan komputasi, melainkan oleh kedalaman nilai
dan arah moral yang kita pilih. Karena pada akhirnya, yang membedakan manusia
dari mesin bukanlah kemampuan berpikir, tapi kemampuan untuk memaknai.
Deep learning bukan sekadar teknologi untuk perusahaan
raksasa atau laboratorium riset. Ia bisa dan sudah digunakan dalam berbagai
aspek pendidikan. Mulai dari aplikasi yang bisa mengenali tulisan tangan siswa,
platform pembelajaran adaptif yang menyesuaikan soal sesuai kemampuan murid,
hingga sistem prediktif yang bisa membantu guru mengidentifikasi siswa yang
berisiko putus sekolah.
Contohnya, beberapa sekolah di luar negeri mulai menggunakan
sistem deep learning untuk menganalisis ekspresi wajah siswa saat ujian online,
guna mendeteksi kecurangan. Di Indonesia, teknologi serupa bisa dimanfaatkan
untuk mendeteksi tingkat fokus siswa, memberikan saran pembelajaran individual,
atau bahkan memetakan potensi karier berdasarkan minat dan pola belajar.
Teknologi ini bisa membantu guru, bukan menggantikannya. Ia
bisa mempercepat penilaian, mengurangi beban administratif, dan memberikan
waktu lebih bagi guru untuk berinteraksi secara manusiawi dengan
murid-muridnya.
Tentu saja, penerapan deep learning di sekolah tidak tanpa
risiko. Ada kekhawatiran tentang privasi data siswa, bias algoritma, hingga
ketergantungan pada mesin. Tapi semua itu bukan alasan untuk menolak, melainkan
alasan untuk memperkuat literasi digital guru dan siswa.
Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman untuk
bereksperimen dengan teknologi secara etis. Di sinilah kita bisa membangun
generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga berani mengkritisi dan
memperbaiki sistem digital yang tidak adil.
Deep learning bisa menjadi alat yang luar biasa di ruang
kelas, jika kita menggunakannya dengan tujuan yang benar. Ia bisa membantu guru
mengajar lebih baik, membantu siswa belajar lebih dalam, dan membantu sistem
pendidikan menjadi lebih inklusif serta adaptif.
Namun, saya percaya bahwa deep learning seharusnya tidak
pernah menjadi pengganti nurani manusia. Sebaliknya, ia harus menjadi cermin
yang menunjukkan sejauh mana kita bisa membuat teknologi yang tidak hanya
memahami pola pikir manusia, tetapi juga menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Jika sekolah adalah tempat kita menanam benih masa depan,
maka biarlah deep learning menjadi pupuknya bukan hama yang diam-diam
menggantikan peran guru dan nurani. (AI)
Editor: Sianturi