SALAM PAPUA (TIMIKA)- Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur fisik dan digital, keberadaan perpustakaan kerap kali terpinggirkan dari prioritas pembangunan daerah. Padahal, perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku ia adalah jantung literasi, ruang tumbuh kecerdasan, dan pilar peradaban. Di setiap kabupaten, termasuk Mimika, perpustakaan seharusnya menjadi kebutuhan mendesak, bukan pelengkap.

Kabupaten Mimika dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kontribusi ekonomi besar di Papua dan Indonesia, namun sayangnya belum sepenuhnya tercermin dalam pembangunan infrastruktur literasi. Fakta yang ironis, hingga kini Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Mimika masih menempati bangunan sewaan. Padahal, keberadaan kantor tetap yang representatif sangat penting untuk menunjang operasional dan pelayanan perpustakaan kepada masyarakat.

Lebih ironis lagi, di tengah kondisi ini, berdiri sebuah gedung perpustakaan megah yang telah dibangun dengan anggaran mencapai puluhan miliar rupiah, namun hingga saat ini mangkrak dan tak difungsikan bahkan tinggal rangka. Sebuah potret menyedihkan dari perencanaan yang tidak berpihak pada masyarakat dan minim keberlanjutan.

Perpustakaan bukan sekadar simbol kemajuan pendidikan, tetapi fasilitas nyata untuk menciptakan masyarakat yang melek informasi, kritis, dan berdaya. Di Mimika, kesenjangan akses pendidikan antara daerah pesisir, pegunungan, dan kota masih nyata. Kehadiran perpustakaan aktif di tiap distrik bisa menjadi jembatan penghubung pengetahuan, memperluas wawasan anak-anak dan remaja, serta menumbuhkan budaya baca sejak dini.

Lebih jauh, perpustakaan juga bisa berperan sebagai pusat pelestarian budaya lokal. Koleksi tentang sejarah, bahasa, dan tradisi Amungme, Kamoro, dan suku-suku lainnya harus diarsipkan dan dapat diakses publik. Tanpa dokumentasi yang sistematis, warisan intelektual lokal berisiko hilang ditelan zaman.

Kita tentu menyayangkan, bahwa di tengah anggaran pembangunan yang besar, perpustakaan belum mendapat perhatian proporsional. Padahal, investasi dalam literasi dan pendidikan adalah fondasi pembangunan jangka panjang. Masyarakat Mimika butuh lebih dari sekadar gedung: mereka butuh akses terhadap buku, teknologi, ruang belajar, dan pustakawan yang kompeten.

Sudah saatnya pemerintah daerah mengevaluasi kembali prioritas. Gedung perpustakaan yang mangkrak harus segera dihidupkan. Jangan biarkan ia menjadi monumen pemborosan anggaran dan kegagalan perencanaan. Alih-alih terus menyewa kantor, alangkah lebih bijak jika fasilitas yang telah dibangun bisa segera difungsikan untuk pelayanan masyarakat.

Jika ingin mencerdaskan bangsa, dimulailah dengan mencerdaskan kampung, distrik, dan kabupaten. Dan perpustakaan adalah langkah awalnya. Tetapkan perpustakaan sebagai prioritas pembangunan nonfisik melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Renstra Dinas Perpustakaan.

Alokasikan anggaran khusus dalam APBD untuk pembangunan, pengelolaan, dan pengembangan perpustakaan, baik fisik maupun layanan digital. Bangun atau aktifkan gedung perpustakaan daerah yang representatif, termasuk fasilitas yang sudah ada tapi belum difungsikan (seperti kasus gedung mangkrak di Mimika).

Pastikan gedung memenuhi standar: aksesibel, aman, nyaman, dan ramah anak. Jika belum memungkinkan membangun gedung, bisa dimulai dengan perpustakaan mini atau pojok baca di distrik dan kampung.

Sediakan buku cetak berkualitas, bervariasi (literasi dasar, anak, remaja, umum, budaya lokal). Tambahkan buku elektronik (e-book) dan akses internet untuk mendukung literasi digital. Perkuat koleksi buku tentang kearifan lokal, sejarah, dan budaya Papua agar menjadi identitas daerah.

Angkat pustakawan profesional yang memahami manajemen perpustakaan dan pelayanan publik. Jika belum tersedia, latih tenaga lokal menjadi pengelola pustaka melalui pelatihan teknis dan kemitraan dengan perpustakaan provinsi atau nasional.

Jalankan program literasi masyarakat: pelatihan menulis, membaca, storytelling, klub buku, dan pelatihan IT dasar. Libatkan guru, tokoh masyarakat, relawan literasi, dan komunitas untuk mendorong budaya membaca. Jadikan perpustakaan sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dan ruang ekspresi anak muda.

Buat sistem evaluasi berkala terhadap fungsi, jumlah kunjungan, dan efektivitas layanan. Buka ruang kolaborasi dengan pihak ketiga: CSR perusahaan (seperti PT Freeport Indonesia), lembaga donor, dan NGO pendidikan. Dorong partisipasi publik, misalnya donasi buku, pelatihan sukarela, dan penyuluhan literasi.

Perpustakaan bukan sekadar proyek bangunan, tapi investasi intelektual. Agar benar-benar hidup, harus ada keberpihakan kebijakan, konsistensi pengelolaan, dan keterlibatan komunitas. Mimika punya sumber daya dan potensi, tinggal keberanian untuk mewujudkannya.

Penulis: Sianturi