SALAM PAPUA (TIMIKA)- PERUM Bulog KCP Timika memastikan stok
beras mencapai 2.000 ton pada September ini. Klaim tersebut tentu memberi rasa
lega bagi masyarakat, mengingat beras adalah kebutuhan pokok yang sangat vital.
Namun, pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: apakah stok yang
melimpah otomatis menjamin harga di pasar tetap stabil dan terjangkau bagi
masyarakat kecil?
Pengalaman selama ini menunjukkan, persoalan pangan tidak
hanya berhenti pada ketersediaan. Distribusi yang tidak merata, biaya logistik
yang tinggi, serta permainan pedagang nakal kerap membuat harga tetap melambung
meski stok cukup. Inilah titik lemah yang seharusnya diawasi secara ketat oleh
Bulog bersama pemerintah daerah.
Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) memang
menjadi instrumen penting untuk menekan gejolak harga. Beras medium dilepas
Rp13.500 per kilogram dan premium Rp14.500 sesuai HET. Namun, fakta di lapangan
sering kali berbeda. Ada jarak antara harga resmi dan harga di pasar, apalagi
jika distribusi ke ritel kecil tidak lancar. Jika hal ini tidak dikawal,
program SPHP hanya menjadi formalitas yang tidak menyentuh dapur masyarakat.
Lebih jauh lagi, Bulog tidak bisa bekerja sendirian. Peran
Pemkab Mimika, aparat penegak hukum, hingga Badan Pangan Nasional sangat
menentukan. Sidak pasar yang disebutkan Bulog seharusnya tidak sebatas
seremoni, melainkan upaya berkelanjutan untuk menutup celah spekulan dan
menjaga harga tetap wajar.
Masyarakat menunggu bukti nyata bahwa 2.000 ton beras
benar-benar hadir di meja makan dengan harga yang terjangkau, bukan sekadar
angka di atas kertas. Transparansi penyaluran, pengawasan distribusi, dan
komitmen pemerintah daerah menjadi kunci agar stok melimpah benar-benar berarti
bagi rakyat kecil.
Karena pada akhirnya, ketahanan pangan bukan diukur dari
berapa ton beras di gudang Bulog, tetapi dari seberapa mudah masyarakat miskin
membeli beras di pasar tanpa terbebani harga yang mencekik.
Rakyat Mimika butuh lebih dari sekadar pasar murah musiman.
Yang dibutuhkan adalah strategi jangka panjang: pemangkasan rantai distribusi,
subsidi ongkos angkut, dan pengawasan ketat di lapangan. Tanpa itu, klaim stok
beras aman hanyalah narasi kosong.
Pada akhirnya, ketahanan pangan di Mimika tidak akan
terwujud hanya dengan gudang Bulog yang penuh, tetapi dengan keberanian Pemkab
menempatkan kepentingan rakyat di atas kenyamanan birokrasi.
Fakta bahwa produksi beras lokal masih jauh dari harapan
menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap kedaulatan pangan.
Lahan pertanian di Mimika ada, petani ada, tetapi dukungan serius dari Pemkab
untuk mengembangkan produksi padi masih minim. Akibatnya, beras lokal tidak
pernah menjadi tulang punggung ketahanan pangan di daerah sendiri.
Kondisi ini berbahaya. Selama Mimika hanya mengandalkan
pasokan dari luar, harga pangan akan selalu rentan dipermainkan biaya
transportasi, rantai distribusi, hingga spekulan. Bulog boleh saja menyebut
stok aman tiga bulan, tetapi begitu suplai dari Merauke tersendat, krisis bisa
langsung terjadi.
Di sinilah seharusnya peran Pemkab Mimika lebih tegas. Tidak
cukup hanya hadir di pasar murah atau sidak harga. Pemerintah daerah wajib
membangun kebijakan jangka panjang untuk memperkuat produksi beras lokal:
membuka akses lahan produktif, memberikan bibit unggul, membantu pupuk, hingga
menjamin pasarnya. Tanpa itu, petani lokal akan terus tersisih, dan ketahanan
pangan hanya sebatas ilusi di atas kertas.
Masyarakat tidak butuh klaim “stok aman” yang selalu diulang
tiap tahun. Yang dibutuhkan adalah jaminan bahwa beras yang mereka beli di
pasar sebagian besar berasal dari sawah sendiri, bukan sepenuhnya dari luar
daerah.
Selama produksi beras lokal di Mimika masih jalan di tempat,
maka kedaulatan pangan tidak akan pernah tercapai. Gudang Bulog boleh penuh,
tapi dapur rakyat tetap tergantung pada kapal pengangkut dari Merauke.
Karena bagi masyarakat kecil, beras murah di pasar jauh
lebih penting daripada angka stok yang dipamerkan di meja pejabat.
Pemkab Mimika jelas punya kewajiban memastikan distribusi
dan pengawasan berjalan efektif. Tapi DPRK Mimika tidak boleh hanya puas
menerima laporan "stok aman". DPRK memiliki fungsi pengawasan dan
anggaran yang seharusnya digunakan untuk mendesak pemerintah membuat kebijakan
pangan lebih berpihak pada rakyat kecil.
Mengapa DPRK tidak mendorong alokasi anggaran lebih besar
untuk memperkuat produksi beras lokal? Mengapa tidak ada regulasi daerah yang
mengikat agar distribusi beras SPHP benar-benar sampai ke pasar kecil dan bukan
berhenti di tangan pengecer besar? Tanpa langkah nyata, DPRK hanya menjadi
stempel formal bagi laporan pemerintah.
Ketahanan pangan bukan sekadar urusan Bulog. Ini adalah soal
politik anggaran, regulasi, dan pengawasan yang semuanya berada dalam genggaman
DPRK. Jika DPRK serius, mereka bisa menekan Pemkab agar membuka lahan produktif
untuk petani, memberi subsidi logistik, bahkan membentuk BUMD pangan yang
menjamin harga tetap stabil.
Sebaliknya, jika DPRK hanya diam, maka rakyat akan terus
menanggung mahalnya harga beras meski gudang Bulog penuh. Inilah saatnya DPRK
Mimika membuktikan keberpihakannya. Mereka dipilih rakyat bukan untuk sekadar
hadir di sidang paripurna, tetapi untuk memastikan dapur masyarakat tidak
kosong.
Karena pada akhirnya, ketahanan pangan adalah tanggung jawab
bersama dan DPRK Mimika harus terus memiliki peran bersama pemerintah
daerah.
Penulis: Sianturi