SALAM PAPUA (TIMIKA)- Rasisme, dalam bentuk apa pun, adalah
tindakan yang tidak hanya menyakiti perasaan, tetapi juga secara perlahan
membunuh rasa percaya diri dan masa depan seseorang. Ketika rasisme terjadi di
lingkungan pendidikan tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan setara bagi
semua anak maka persoalan ini menjadi jauh lebih serius. Papua, dengan segala
keberagaman dan tantangan sosialnya, tak luput dari ancaman ini.
Kasus terbaru di salah satu SMP di Mimika, di mana seorang
siswa disebut dengan kata-kata bernuansa rasis oleh teman sebayanya, adalah
puncak gunung es dari persoalan yang lebih dalam. Ini bukan semata insiden
antar anak-anak, melainkan refleksi dari pola pikir diskriminatif yang masih
hidup di tengah masyarakat dan secara tidak sadar diwariskan kepada generasi
muda.
Lingkungan sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu
pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter, toleransi, dan penghargaan
terhadap perbedaan. Ketika tindakan rasisme terjadi di sekolah, maka yang
dipertanyakan bukan hanya perilaku individu, tetapi juga kultur yang dibangun
dalam institusi pendidikan itu sendiri.
Apakah sekolah-sekolah di Papua, terutama yang berada di
wilayah multietnis, sudah memiliki pendekatan pendidikan yang inklusif? Apakah
guru dibekali pemahaman untuk menangani kasus diskriminasi? Apakah kurikulum
benar-benar membentuk siswa menjadi pribadi yang menghargai keberagaman?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci untuk mencegah kasus
serupa terulang.
Anak-anak Papua, yang sejak kecil menghadapi tantangan
sosial dan geografis, tidak seharusnya menanggung tambahan luka akibat stigma
dan diskriminasi rasial. Menyebut mereka dengan istilah merendahkan bukan
sekadar ejekan biasa itu adalah bentuk kekerasan psikologis yang bisa
menghancurkan mental, semangat belajar, dan kepercayaan diri mereka.
Lebih dari itu, tindakan seperti ini bisa menciptakan jurang
sosial antar siswa, memperbesar konflik horizontal, dan mencederai cita-cita
pendidikan nasional: menciptakan manusia yang beradab, cerdas, dan saling
menghormati.
Kasus rasisme di sekolah tidak cukup diselesaikan dengan
permintaan maaf. Harus ada mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan.
Sanksi terhadap pelaku penting, namun edukasi terhadap semua pihak jauh lebih
penting.
Dinas Pendidikan harus: Mewajibkan semua sekolah di Papua
menerapkan program pendidikan anti-diskriminasi dan toleransi. Melatih guru
agar mampu mendeteksi dan menangani kasus bullying dan rasisme secara cepat dan
tepat. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam membangun budaya sekolah yang
inklusif.
Selama ini, rasisme terhadap orang Papua sering terjadi
secara struktural maupun kultural. Kasus-kasus ini seharusnya membuka mata
bahwa Papua bukan "yang lain", melainkan bagian utuh dari Indonesia.
Anak-anak Papua tidak boleh merasa asing di negerinya sendiri terlebih di
sekolah, tempat mereka seharusnya tumbuh dengan penuh harapan dan cita-cita.
Jika sekolah gagal menjadi tempat yang aman, maka di mana
lagi generasi muda Papua bisa merasa dihargai?
Kasus rasisme di sekolah adalah tamparan keras bagi dunia
pendidikan. Ini bukan sekadar soal konflik antar siswa, tetapi soal masa depan
Papua dan Indonesia. Kita harus mulai dari sekolah mengajarkan bahwa warna
kulit, bentuk rambut, atau asal daerah bukan alasan untuk merendahkan, tapi
alasan untuk saling mengenal, menghormati, dan membangun bersama.
Penulis: Sianturi