SALAM PAPUA (TIMIKA)- Fenomena HIV-AIDS di Papua Tengah, khususnya di Kabupaten Mimika, yang disebut sebagai Kota Dollar ibarat gunung es: yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang sebenarnya jauh lebih besar dan mengkhawatirkan.

Data resmi menunjukkan angka kasus yang tinggi, tetapi fakta lapangan mengindikasikan bahwa jumlah penderita yang belum terdeteksi bisa berlipat ganda. Penyakit ini tak lagi hanya menjadi persoalan medis, melainkan juga persoalan sosial, ekonomi, dan moral yang menggerogoti fondasi masyarakat Papua Tengah khususnya Mimika.

Mimika dikenal sebagai salah satu daerah dengan prevalensi HIV-AIDS tertinggi di Indonesia. Mobilitas penduduk yang tinggi akibat aktivitas pertambangan, arus urbanisasi, serta faktor sosial seperti prostitusi terselubung, kekerasan berbasis gender, dan perilaku seks berisiko mempercepat penyebaran virus.

Sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap bahaya HIV masih sangat rendah. Banyak orang baru mengetahui status mereka setelah jatuh sakit parah, sementara stigma terhadap ODHA (Orang dengan HIV-AIDS) masih begitu kuat sehingga menutup peluang edukasi dan pendampingan terbuka.

Sebagaimana gunung es, hanya puncaknya yang terlihat yaitu mereka yang sudah terdiagnosis dan tercatat di fasilitas kesehatan. Sementara itu, di bawah permukaan, ribuan lainnya hidup dalam ketidaktahuan. Mereka tidak terdata, tidak mendapatkan terapi antiretroviral (ARV), dan tanpa disadari menjadi mata rantai penularan baru. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya sistem surveilans kesehatan dan minimnya skrining sukarela di daerah-daerah pedalaman Papua Tengah yang sulit dijangkau.

Kondisi kian memprihatinkan sejak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di berbagai daerah, termasuk Mimika dan Papua Tengah berhenti berfungsi efektif. KPA yang dahulu menjadi motor koordinasi lintas sektor menghubungkan pemerintah, lembaga agama, LSM, dan komunitas kini seperti mati suri. Padahal, KPA memiliki peran vital dalam menyatukan berbagai pendekatan: pencegahan, pendampingan, pengobatan, serta advokasi bagi ODHA.

Ketika KPA tidak aktif, penanganan HIV-AIDS cenderung berjalan parsial. Dinas Kesehatan bekerja sendiri tanpa dukungan sosial yang kuat, sementara lembaga swadaya kehilangan ruang koordinasi dan sumber daya. Akibatnya, kegiatan edukasi masyarakat, kampanye penggunaan kondom, tes sukarela, dan pendampingan ODHA tidak lagi berjalan terstruktur. Yang paling dirugikan adalah masyarakat bawah mereka yang paling rentan tapi paling tidak terjangkau.

Jika pemerintah daerah benar-benar ingin menekan laju HIV-AIDS, maka reaktivasi atau revitalisasi kelembagaan seperti KPA harus menjadi langkah awal. Tidak harus dengan nama yang sama, tetapi dengan fungsi yang serupa: wadah koordinatif yang menggerakkan semua unsur masyarakat. Selain itu, perlu pendekatan berbasis budaya dan komunitas. Di Papua, pendekatan medis semata tidak cukup harus disertai sentuhan kemanusiaan, pemahaman kearifan lokal, dan keterlibatan tokoh adat serta gereja.

Hingga Desember 2024, jumlah akumulatif kasus HIV-AIDS di Provinsi Papua Tengah tercatat sebanyak 22.868 kasus. Dari jumlah tersebut, 12.272 kasus atau sekitar 56 persen di antaranya terjadi pada perempuan, menunjukkan bahwa perempuan menjadi kelompok paling rentan dalam penyebaran HIV di wilayah ini.

Tren peningkatan ini terlihat jelas jika menilik distribusi kasus di tiga wilayah utama. Sebaran kasus menunjukkan konsentrasi tertinggi di tiga kabupaten besar:

Kota Nabire sekitar 10.494 kasus (Papua Tengah), Kabupaten Mimika sekitar 7.923 kasus, dan Kabupaten Paniai sekitar 2.474 kasus. Memasuki pertengahan tahun 2025, angka tersebut terus meningkat. Hingga Juni 2025, total akumulasi mencapai 23.535 kasus. Rinciannya: Nabire sekitar 10.824 kasus, Mimika sekitar 8.151 kasus, dan Paniai sekitar 2.527 kasus.

Dalam periode Januari–Juni 2025, tercatat sekitar 667 kasus baru, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (1.375 kasus). Namun demikian, tren akumulatif tetap menunjukkan peningkatan yang konsisten, menandakan masih banyak kasus baru yang teridentifikasi dari tahun-tahun sebelumnya.

Sementara laporan lain hingga Juli 2025 mencatat total sekitar 23.188 kasus di seluruh Papua Tengah (Jawaban.com). Artinya, meskipun ada indikasi penurunan penemuan kasus baru per semester, angka total tetap naik fenomena khas gunung es epidemiologis, di mana kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Data juga mengungkap bahwa penularan melalui hubungan heteroseksual masih mendominasi, mencapai sekitar 94 persen dari total kasus.

Sayangnya, data rinci per tahun dan per kabupaten terutama untuk wilayah-wilayah pedalaman belum tersedia secara publik. Demikian pula, data kasus aktif dan cakupan terapi ARV masih terbatas. Di Kabupaten Mimika, misalnya, hanya disebutkan bahwa sekitar 800 pasien sedang menjalani pengobatan ARV. Ini menunjukkan perlunya sistem informasi kesehatan yang lebih kuat untuk memantau perkembangan dan efektivitas penanganan HIV-AIDS di Papua Tengah.

HIV-AIDS bukan lagi isu pinggiran. Ia adalah ancaman senyap yang menggerogoti masa depan generasi Papua Tengah. Jika fenomena gunung es ini terus dibiarkan tanpa langkah nyata, maka yang akan tenggelam bukan hanya penderita, tetapi seluruh sistem sosial kita. Pemerintah daerah, lembaga agama, dan masyarakat harus segera bersatu kembali membangkitkan semangat seperti yang pernah dilakukan KPA di masa jayanya: menempatkan kemanusiaan di atas segalanya.

“Kita hidup di tengah epidemi HIV-AIDS. Jangan anggap remeh. Jaga perilaku dan rutin tes. Kalau sudah positif, jangan putus obat. Tahun 2030 baru WHO akan evaluasi lebih lanjut, tapi sekarang kita harus bertindak,” ujar mantan Ketua KPA Provinsi Papua, Constant Karma dalam satu kesempatan.

Penulis: Sianturi