SALAM PAPUA (TIMIKA)- Masalah tapal batas antara Kabupaten Mimika dengan kabupaten lain bukan lagi isu teknis, tetapi sudah menjadi kegelisahan publik. Setiap kali muncul kabar bahwa tanah adat Mimika Wee “dicaplok” atau digeser ke wilayah lain, masyarakat makin kehilangan kepercayaan bahwa pemerintah benar-benar menjaga hak mereka.

Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar tempat tinggal. Tanah adalah identitas, sejarah leluhur, sumber hidup, dan masa depan anak cucu. Karena itu ketika batas wilayah kabupaten tidak jelas dan sebagian tanah adat masuk peta daerah lain, rasa sakit hati itu wajar. Yang salah adalah ketika pemerintah lambat menanggapi dan membiarkan masalah ini berlarut-larut.

Sudah terlalu lama masyarakat menunggu penyelesaian tapal batas salah satunya di Kapiraya, Distrik Mimika Barat Tengah. Pemerintah Kabupaten Mimika dan DPRK tidak bisa lagi sekadar berjanji atau menyampaikan “akan koordinasi”. Yang dibutuhkan adalah langkah nyata seperti:

Segera aktifkan tim teknis penegasan batas bersama provinsi dan Kemendagri. Turun langsung ke lapangan untuk memastikan batas adat dan batas administratif sesuai kenyataan. Sampaikan informasi terbuka kepada masyarakat, bukan diam sampai rakyat demo. Jika pemerintah tidak bergerak cepat, masyarakat akan terus merasa tanah mereka tidak terlindungi.

Demo di halaman DPRK Mimika, Selasa (25/11/2025) menunjukkan satu hal: rakyat sudah lelah menunggu. DPRK harus mengambil peran dengan membentuk Pansus Tapal Batas dan mengawasi anggaran penyelesaiannya. Jangan sampai persoalan sebesar ini terjebak dalam birokrasi atau tarik-menarik politik. DPRK tidak boleh hanya hadir ketika massa datang. Rakyat butuh wakil yang berani bersuara sebelum konflik membesar.

Persoalan tapal batas tidak akan selesai tanpa suara adat Mimika Wee. Pemerintah harus menjadikan lembaga adat sebagai mitra utama, bukan sekadar undangan formal. Mereka punya pengetahuan tentang sejarah wilayah, pola pemanfaatan tanah, dan saksi leluhur yang menjadi dasar identitas.

Ketika adat dan pemerintah berjalan bersama, penyelesaian tapal batas akan lebih kuat secara moral maupun hukum.

Jika masalah ini terus dibiarkan, bukan hanya tanah yang hilang tetapi juga rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Tapal batas harus diselesaikan sekarang, sebelum anak cucu kita nanti hanya bisa mengenang tanahnya lewat cerita.

Pemerintah, DPRK, dan lembaga adat harus bergerak dalam satu langkah. Tanah Mimika Wee harus dijaga, dan hak masyarakat adat tidak boleh lagi dikorbankan oleh kelalaian birokrasi.

Bupati Kabupaten Mimika, Johannes Rettob menjawab aksi demo FPHUM di halaman DPRK Mimika, Selasa (25/11/2025) menegaskan bahwa persoalan tapal batas Mimika telah dibahas bersama Bupati Deiyai dan Gubernur Papua Tengah. Ia juga menyampaikan bahwa Pemkab Mimika telah dua kali mengirim surat resmi kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meminta peninjauan dan pengembalian batas wilayah sesuai ketentuan.

Rettob menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, luas wilayah Kabupaten Mimika adalah 21.000 kilometer persegi. Mimika juga belum pernah mengalami pemekaran wilayah, sementara beberapa kabupaten lain di sekitarnya sudah dimekarkan. Karena itu, ia menegaskan bahwa wilayah hasil pemekaran tidak boleh mengambil atau mengklaim tanah yang secara administratif merupakan bagian dari Mimika.

“Kita harus memperhatikan dan menjaga wilayah seluas 21.000 kilometer persegi ini. Kabupaten lain yang dimekarkan tidak boleh mengambil tanah yang menjadi hak Mimika,” ujar Rettob.

Ia mengajak masyarakat Mimika Wee untuk tetap menjaga wilayah adat, terutama di kawasan perbatasan seperti Kapiraya, Umumuka, dan Potowai. Program pembangunan yang berjalan di kawasan perbatasan, menurutnya, juga harus dijaga sebagai bentuk kehadiran pemerintah.

“Kita harus mempertahankan wilayah kita dan menjaga apa yang sudah dibangun. Jangan sampai ditinggalkan,” pesannya.

Kabupaten Mimika sendiri berada di wilayah tengah selatan Papua, menjadi salah satu daerah dengan posisi strategis karena berbatasan langsung dengan banyak kabupaten lain. Secara administratif, Mimika diapit oleh Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Puncak Jaya di bagian utara. Di sebelah timur, wilayah ini berbatasan dengan Asmat dan Nduga, sementara bagian baratnya bersentuhan dengan wilayah Papua Barat, seperti Kaimana. Di selatan, batas Mimika berakhir pada hamparan Laut Arafuru yang menjadi pintu keluar bagi masyarakat pesisir.

Namun, jika batas administratif dapat digambar dengan garis tegas di atas peta, tidak demikian halnya dengan batas adat. Di Mimika, batas wilayah adat ditentukan oleh sejarah panjang hubungan antarsuku, cerita leluhur, aliran sungai, hingga tempat-tempat sakral yang diwariskan turun-temurun. Dua suku besar Kamoro di pesisir dan Amungme di pegunungan menjadi pemilik ulayat utama. Bagi Kamoro, batas timur wilayah adat membentang hingga Sungai Otakwa dan ke barat mendekati Potowaiburu, sedangkan Amungme memiliki ulayat yang mengikuti lembah-lembah kaki gunung dan punggung bukit di wilayah pegunungan.

Meski demikian, batas adat tidak selalu sejalan dengan batas administrasi. Beberapa titik wilayah masih menjadi sengketa, baik antar suku maupun antara masyarakat adat dan pemerintah. Bahkan di internal suku tertentu terdapat klaim-klaim yang berbeda soal wilayah ulayat. Situasi ini kerap memicu ketegangan, terutama ketika pembangunan, investasi, atau proyek pemerintah membutuhkan kepastian ruang.

Pemerintah sebenarnya telah mengakui pentingnya batas administrasi, tetapi batas adat adalah identitas bagian dari jati diri masyarakat yang tidak bisa disederhanakan. Karena itu, penyelesaian batas di Mimika tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknis, tetapi harus mengedepankan dialog adat, musyawarah, dan penghormatan terhadap hak ulayat yang telah ada jauh sebelum batas kabupaten digambar.

Penulis: Sianturi