SALAM PAPUA (TIMIKA) – Caregiver adalah seseorang yang
memberikan perawatan, pendampingan, serta dukungan kepada individu yang belum
atau tidak mampu merawat dirinya secara mandiri, seperti lansia, penyandang
disabilitas, maupun orang sakit. Peran ini mencakup pemenuhan kebutuhan
sehari-hari hingga dukungan emosional.
Bagi Orang dengan HIV (ODHIV), khususnya anak-anak,
keberadaan caregiver menjadi sangat penting. Hal tersebut disampaikan Pemerhati
dan Aktivis HIV/AIDS dari Yayasan Cenderawasih Bersatu Papua, Pdt. Sefnat
Lobwaer, Senin (15/12/2025).
“Caregiver bagi ODHIV harus memiliki hati yang besar untuk
menerima mereka apa adanya dan memperlakukan tanpa diskriminasi,” ujarnya.
Ia menuturkan, masih ada orang tua yang diliputi ketakutan
akibat minimnya informasi tentang HIV, sehingga enggan mendampingi anak untuk
menemukan dan mengembangkan potensi dirinya. Ketakutan tersebut muncul karena
anggapan lama bahwa anak dengan HIV hanya dapat bertahan hidup 5–10 tahun,
sehingga perawatan yang diberikan sekadar apa adanya.
Padahal, dengan perkembangan pengobatan saat ini serta
adanya pelatihan caregiver, orang tua dapat menyiapkan anak secara lebih
matang, termasuk dalam proses penerimaan dan pembukaan status HIV. Dengan
penerimaan tersebut, anak justru dapat dibantu untuk mengenali dan
mengembangkan potensi dirinya.
“Anak bisa sampai pada kesadaran bahwa meskipun hidup dengan
HIV, ia tetap memiliki kelebihan yang bisa dikembangkan untuk menopang
hidupnya,” jelasnya.
Menurut Pdt. Sefnat, pemberitahuan status HIV kepada anak
harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan masing-masing anak. Waktu
pembukaan status tidak bisa disamaratakan.
“Ada anak yang mengetahui statusnya lebih dini karena
pembukaan yang tidak disengaja. Misalnya, karena kemajuan media sosial, anak
melihat informasi tentang obat yang dikonsumsinya dan menyadari bahwa dirinya
adalah ODHIV,” tuturnya.
Ada pula kasus ketika anak sudah bersekolah dan sering izin,
lalu tanpa sengaja orang tua menyampaikan bahwa anak tersebut harus mengambil
obat di layanan kesehatan. Dari situlah status anak terbuka.
“Yang ideal adalah orang tua menyiapkan anak sedini mungkin.
Ketika orang tua menilai anak sudah siap secara pengetahuan dan mental, serta
merasa diterima dalam keluarga, maka status dapat dibuka dengan lebih aman,”
paparnya.
Ia menambahkan, meskipun dalam teori caregiver terdapat usia
tertentu untuk pembukaan status, praktik di lapangan tidak selalu harus
mengikuti aturan kaku tersebut. Ia berharap penemuan potensi anak dapat dimulai
dari orang tua atau caregiver, guru, serta komponen pendukung lainnya.
“Kami berharap orang tua dan anak dapat menemukan potensi
anak tersebut. Melalui pelatihan youth, mereka bisa menyadari bahwa sebenarnya
mereka memiliki kelebihan yang perlu dikembangkan,” ungkapnya.
Dalam pelatihan caregiver, lanjut Pdt. Sefnat, orang tua
juga diajarkan bahwa kebanggaan terhadap anak tidak semata-mata diukur dari
nilai akademik. Kepekaan orang tua dalam melihat kemampuan anak beradaptasi
dengan situasi serta mengembangkan diri sesuai kapasitasnya jauh lebih penting.
“Nilai akademik sering dijadikan satu-satunya ukuran
kepintaran. Padahal, anak bisa memiliki keahlian, hobi, dan potensi lain yang
dapat menopang hidup mereka di masa depan,” tandasnya.
Melalui pelatihan caregiver yang diselenggarakan oleh
Yayasan Melati Peduli Timika, orang tua dibekali pengetahuan tentang cara
merawat anak di rumah, menyiapkan kondisi fisik dan psikis anak, serta
mendampingi kesehatan mental anak yang berkaitan erat dengan status HIV.
“Stigma dan diskriminasi memang masih ada di luar sana.
Namun ketika anak pulang ke rumah, mereka harus merasa ada dada yang lapang
untuk menerima, pelukan yang menghangatkan, dan tempat yang aman untuk
beristirahat. Rumah harus menjadi surga bagi mereka,” pungkasnya.
Penulis/Editor: Sianturi

