SALAM PAPUA (TIMIKA) – Melihat banyaknya klaim terhadap
kepengurusan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Yunus Omabak menjelaskan
sejarah adanya Lemasa di Timika.
Yunus Omabak merupakan putra asli suku Amungme kelahiran
kampung Waa-Banti 30 Mei 1962. Yunus Omabak adalah rekan Pemuda Amungme yang
ikut bagian dalam memperjuangkan nasib alam, adat dan manusia Amungme bersama
Almarhum Tom Beanal sehingga Lemasa yang saat ini ada adalah atas dasar sejarah
dan melanjutkan perjalanan almarhum Tom Beanal tanpa ada kepentingan lain.
Saat menggelar konferensi pers, Selasa (26/9/2023), Yunus mengungkapkan
bahwa Lemasa yang sah tetap pada fondasi
atau dasar hukum yang dipakai adalah SK Bupati pertama Fakfak, J.P Matondang tahun
1992 nomor 202 tentang Lembaga Kerapatan Suku Amungme. Atas dasar SK tersebut, tanggal
22 Juli 1994 dilaunching Lembaga dan perubahan nama dari Lembaga Kerapatan Adat
Suku Amungeme menjadi Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) di Kwamki
Lama (saat ini Kwamki Narama).
Perubahan nama lembaga itu dikarenakan adanya beberapa
pertimbangan Almarhum Tom Beanal bahwa pada saat itu masyarakat adat yang
paling eksis dengan berbagai pendapatnya ialah Lembaga Musyawarah Adat Irian
Jaya yang berkedudukan di Jayapura. Lembaga itu dibentuk pada saat Papua
menjadi bagian dari NKRI dengan tujuan sebagai lembaga penampung aspirasi
masyarakat Papua kepada Pemerintah. Lembaga itupun eksis hingga 1990an.
Almarhum Tom Beanal membentuk Lemasa supaya semua pikiran
mengenai hak adat, alam dan hak asasi manusia Amungme bisa terbela serta memberikan
keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat.
“Melalui konferensi pers ini kami mau meluruskan, karena
selama ini lembaga ini diklaim sana,
diklaim sini. Lemasa ini punya dasar SK tersebut dan masih berlaku
hingga saat ini. Almarhum Tom Beanal terinsipirasi dari Lembaga Musyawarah Adat
Irian Jaya sehingga dibuatnya Lemasa di Timika. Lemasa dibentuk supaya
masyarakat adat bisa diberi kesempatan untuk berbicara pada forum pemerintah
atau menyampaikan aspirasinya,” ungkap Yunus
saat menggelar konferensi pers di Jalan Perjuangan, Kelurahan Timika
Indah, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Selasa (26/9/2023).
Usai dilaunching, dia menambahkan, selanjutnya dilakukan
musyawarah adat (Musdar) secara besar-besaran di Kwamki Lama dan almarhum Tom
Beanal diangkat menjadi pemimpin Amungme. Hingga saat ini Lemasa terus
mengikuti dasar itu dan telah melaksanakan Musdat ke-3 dengan menghadirkan
masyarakat dari 14 wilayah adat.
Saat ini Lemasa yang sah telah ada struktur kepengurusan
dengan Akta lembaga serta memiliki
anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga. Dengan demikian, siapapun yang mencoba untuk membuat sesuatu atas nama
Lemasa, maka itu tidak sah secara hukum. Sebab tidak ada Lemasa lain di luar
Lemasa yang benar-benar melanjutkan perjuangan almarhum Tom Beanal.
“Saat ini Lemasa juga melaksanakan Musdar ke-3 yang
melibatkan perwakilan dari 13 wilayah adat dan satu wilayah Diaspora. Kami
lakukan Musdat itu di tempat terbuka dihadiri masyarakat Amungme. Jadi kalau
ada keputusan Lemasa yang dilakukan di kafe-kafe atau hotel-hotel tanpa
melibatkan masyarakat itu bukan keputusan adat, karena Lembaga adat tidak
seperti itu. Keputusan tertinggi suku Amungme harus melalui Musdat,” tegasnya.
Yunus mengaku, bersamaan dengan dikeluarkannya SK 202 oleh
Bupati P.J Matondang, juga ada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Jenderal Rudini
hadir dalam rangka HUT Kabupaten Fakfak 16 November 1992 dan ikut melantik
Yunus Omabak sebagai Kepala Suku Umum suku Amungme. Dengan SK 22 itu juga yang
dipakai mendirikan Lemasa.
“Waktu SK Bupati J.P Matondang keluar, Almarhum Tom Beanal
baru saja pindah dari Nabire ke Timika. Mulai saat itu sebagai tokoh terpelajar
Almarhum langsung menjemput bola dan berjuang untuk mengubah semua kondisi yang
terjadi di Timika dengan mendirikan Lemasa,” katanya saat didampingi pengurus
Lemasa lainnya.
Dengan tegas Yunus sampaikan, seluruh masyarakat Amungme
harus tahu almarhum Tom Beanal dirikan Lemasa karena melihat kehidupan orang
Amungme itu seperti tertindas. Sejak alam atau gunung milik orang Amungme mulai
dibor untuk diambil isinya, saat itu juga sampah dan limbah dibuang
dimana-mana, bahkan manusia Amungme pun diusir dan hanya mengais makanan sampah
yang dibuang perusahaan.
Karena itu, dirinya bersama beberapa pemuda Amungme lainnya
berjuang ke Fakfak untuk mendapatkan perlindungan bagi manusia Amungeme.
Perjuangan ke Fakfak bukan hal yang mudah tapi penuh perjuangan dan melibatkan
banyak orang yang harus dihadapi. Setelah membawa SK dari Fakfak, kemudian
muncul almarhum Tom Beanal dari Nabire dan langsung memperkuat perjuangan
menghidupkan orang Amungeme di atas tanahnya sendiri tanpa adanya penindasan.
“Orang tua mengais makanan dari sampah pembuangan dari PT
Freeport Indonesia dan diusir. Saya tidak buat-buat cerita. Kesengsaraan orang
Amungme yang membuat Lemasa ini ada. Jujur di awal perjuangan untuk adanya
Lemasa, saya ini tidak tahu apa-apa tentang HAM orang Amungeme, tapi saya jalan
sama-sama ke Fakfak supaya bisa melindungi orang Amungeme,” katanya.
Yunus mengaku, hingga saat ini dirinya hidup dan berjuang
menghidupkan kembali Lemasa bukan dengan tujuan kepentingan pribadi, tapi atas
nama orang Amungme. Perjuangan Lemasa adalah supaya orang Amungme bisa hidup di
atas tanahnya sendiri.
“Lemasa ada layaknya lembaga adat lainnya di Indonesia
dengan tujuan berpihak kepada masyarakatnya. Sejak awal yang diutamakan menjadi
perjuangan Lemasa ialah perlindungan hak manusia Amungeme,” katanya.
Sementara Tokoh masyarakat Amungme sekaligus pengurus
Lemasa, Yanes Natkime menyampaikan bahwa PT Freeport Indonesia dan Pemkab
Mimika harus hadir tanpa mengadu domba masyarakat Amungeme dengan memberikan
pengakuan bagi kelompok lain yang mengklaim sebagai Lemasa.
Pemkab Mimika harus mendukung Lemasa yang benar-benar
berjalan sesuai sejarah dan perjuangannya. Pemkab tidak boleh mengakui
perkumpulan atau kelompok yang mengatasnamakan sebagai Lemasa, tapi tidak
bertujuan untuk masyarakat adat.
“Pemerintah harus perbaiki langkah untuk menyatukan orang
Amungeme. Pemerintah tidak bisa mengambil alih urusan lembaga. Kami mohon
supaya Bupati perbaiki ini semua supaya orang Amungme tetap bersatu,” pintanya.
Siapapun bangsa, suku dan ras yang masuk ke Timika, berarti masuk dalam honai
orang Amungeme, yaitu Lemasa. Dengan demikian, ketika telah masuk ke dalam
honai Amungme, maka adab, sikap dan idenya harus sesuai dengan adat Amungeme.
Demikian juga halnya dengan PT Freeport Indonesia telah
diterima oleh orang-orang tua Amungme, berarti PTFI telah membangun kesepakatan
untuk bersatu memperbaiki Amungeme. Namun faktanya hingga saat ini orang
Amungme masih sulit dan susah meski alam dan tanahnya telah diambil.
“Kami minta jangan mengadu domba masyarakat dan
menghilangkan Lemasa. Freeport diharapkan kembali menjalin kerjasama dengan
Lemasa yang sah. Kami sudah Musdat dan bersatu sehingga tidak ada lagi
Lemasa-Lemasa lainnya di atas tanah Amungsa,” tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Amungme Nagawan Lemasa, Jhon Menuel Magal bahwa Lemasa yang saat ini tetap melanjutkan perjalanan yang telah
diperjuangkan almarhum Tom Beanal sebagai Torei Negel Lemasa. Hingga saat ini
masih banyak pelaku sejarah Lemasa yang masih hidup dan berkomitmen
menghidupkan Lemasa dengan tujuan memperjuangkan hak orang Amungme.
“Itulah kenapa hari ini perlu adanya konferensi pers.
Masyarakat Amungme harus tahu bahwa Lemasa harus berjalan berdasarkan sejarah
dan dasar hukumnya,” jelasnya.
Wartawan : Acik
Editor : Jimmy