SALAM PAPUA (TIMIKA)- Di tengah rimbunnya hutan sagu di Tanah Papua, tersembunyi salah satu kuliner tradisional yang unik sekaligus ekstrem bagi sebagian orang: ulat sagu. Bagi masyarakat Papua, khususnya suku-suku pesisir dan dataran rendah seperti Kamoro dan Asmat, ulat sagu bukan hanya makanan—tetapi juga simbol kearifan lokal dan sumber protein alami yang sangat penting.

Ulat sagu, atau dikenal juga dengan nama "Koo" dalam bahasa Kamoro, adalah larva dari kumbang merah (Rhynchophorus ferrugineus) yang berkembang biak di batang sagu yang sudah lapuk atau ditebang. Proses mencari ulat ini disebut "berburu sagu", dan biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa atau keluarga secara bersama-sama.

Batang sagu ditebang, dibiarkan membusuk selama beberapa minggu hingga larva berkembang. Setelah itu, batang dibelah dan ulat-ulat berukuran sekitar 3–5 cm dikumpulkan dan siap dikonsumsi.

Cara makan ulat sagu: dimakan mentah, biasanya dilakukan langsung di hutan setelah berburu, sebagai camilan segar berprotein tinggi. Dibakar: Disusun di atas daun sagu atau dijepit dengan tusuk bambu, lalu dipanggang seperti sate. Aromanya mirip daging berlemak.

Dimasak dalam sagu bakar atau pepeda: Kadang dicampur dalam olahan sagu bakar, atau disajikan sebagai lauk saat makan papeda.

Rasanya? Lemak, gurih, dan sedikit manis, mirip perpaduan antara telur dan kelapa, dengan tekstur yang lembut namun kenyal.

Kandungan Gizi Ulat Sagu

Menurut berbagai studi pangan, ulat sagu sangat kaya nutrisi, terutama: Protein tinggi mendukung pembentukan otot dan sistem kekebalan tubuh. Lemak baik, sebagai sumber energi. Zat besi dan seng penting untuk pembentukan darah dan metabolisme tubuh.

Tak heran jika makanan ini sangat berharga, terutama bagi masyarakat pedalaman yang aksesnya terhadap sumber protein hewani modern sangat terbatas.

Lebih dari sekadar makanan, ulat sagu adalah bagian dari identitas budaya Papua. Dalam beberapa acara adat, seperti pesta bakar batu atau upacara penyambutan tamu, ulat sagu bisa dihidangkan sebagai bentuk penghormatan.

Kini, ulat sagu juga menjadi atraksi kuliner ekstrem bagi wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin mencoba sensasi makan langsung dari alam Papua. Di daerah seperti Timika, Agats, dan Merauke, pengunjung dapat mengikuti tur hutan sagu dan mencicipi ulat sagu langsung dari sumbernya.

Ulat sagu adalah bukti bahwa kearifan lokal masyarakat Papua mampu menjaga harmoni dengan alam dan menyediakan sumber pangan bergizi secara berkelanjutan. Bagi sebagian orang, mungkin terasa ekstrem. Tapi bagi masyarakat Papua, ini adalah warisan nenek moyang yang lezat, sehat, dan membanggakan.

Jika Anda berkesempatan beranikan diri untuk mencobanya. Mungkin saja, Anda menemukan rasa baru yang tak terlupakan dari jantung hutan sagu. (AI)

Editor: Sianturi