SALAM PAPUA (TIMIKA) – Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme
(LEMASA) versi Musyawarah Adat (Musdat) kembali menegaskan posisinya sebagai
satu-satunya lembaga adat sah yang memiliki legitimasi hukum dalam mewakili
masyarakat hukum adat Amungme di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Ketua LEMASA, Menuel Jhon Magal, menyatakan bahwa
klarifikasi ini diberikan menyusul kemunculan salah satu Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang dinilai telah melakukan intervensi terhadap urusan
internal LEMASA tanpa dasar hukum yang jelas.
"Jika memahami kedudukan lembaga adat secara benar,
bahkan pemerintah pun tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses
pengambilan keputusan dalam lembaga hukum adat. Pemerintah hanya berwenang
dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Lalu, siapa yang
memberikan legitimasi kepada LSM ini untuk mencampuri urusan internal
kami?" tegas Menuel dalam pernyataan resminya yang diterima
Salampapua.com, Kamis (7/8/2025).
Ia menyayangkan aktivitas LSM tersebut, termasuk peredaran
video yang menyinggung isu internal LEMASA serta undangan peringatan Hari
Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus 2025, yang diduga dimanfaatkan untuk
merongrong legitimasi LEMASA.
"Saya bertanya kepada Pemda Mimika, apakah pemerintah
menyerahkan urusan masyarakat hukum adat kepada LSM yang baru muncul di Timika?
Jika ya, di mana dasar hukumnya?" lanjut Menuel.
Menuel menjelaskan bahwa persoalan dualisme antara LEMASA
dan Perkumpulan LEMASA (PLEMASA) sejatinya telah diselesaikan dalam forum resmi
pada 14 Maret 2024. Forum tersebut dihadiri oleh perwakilan Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Kesbangpol Papua Tengah, Majelis
Rakyat Papua (MRP) Papua Tengah, serta difasilitasi oleh Kesbangpol Kabupaten
Mimika.
Dalam forum itu, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan bahwa
LEMASA yang dibentuk melalui Musyawarah Adat (Musdat) adalah lembaga adat sah
yang diakui sebagai representasi formal masyarakat hukum adat Amungme.
Sementara PLEMASA, baik yang berbadan hukum maupun sekadar terdaftar di
Kesbangpol, tidak memenuhi syarat sebagai lembaga adat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
"Sudah sangat jelas perbedaannya mana yang ormas, mana
yang lembaga masyarakat hukum adat," ujar Menuel.
Forum tersebut juga menyoroti dugaan intervensi dalam proses
transformasi LEMASA menjadi perkumpulan, yang dianggap sebagai bentuk pelemahan
terhadap eksistensi lembaga adat demi kepentingan bisnis, termasuk kepentingan
korporasi tambang.
"Perwakilan Kemendagri bahkan mempertanyakan kepada
PTFI alasan mengubah LEMASA menjadi perkumpulan. Jawabannya hanya karena tidak
mengikuti perkembangan regulasi. Ini alasan yang tidak berdasar," kata
Menuel.
Sejak forum itu, LEMASA secara aktif diundang dalam berbagai
forum resmi pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi, serta
forum nasional. LEMASA juga menjalin komunikasi dengan Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan forum akademik nasional.
"Secara de facto, kami sudah diakui. Tinggal secara de
jure, kami perlu difasilitasi oleh Pemda Mimika. Masyarakat perlu tahu bahwa
pengakuan lembaga masyarakat hukum adat diatur melalui mekanisme dan regulasi
yang sah," tegasnya.
LEMASA mendesak pemerintah, khususnya Kesbangpol Papua
Tengah dan Kabupaten Mimika, agar segera mengambil langkah tegas terhadap LSM
atau ormas yang mengatasnamakan lembaga adat tanpa legitimasi hukum. Menurut
Menuel, kehadiran aktor-aktor baru ini justru memperkeruh suasana dan
berpotensi memecah belah masyarakat adat.
"Kami sudah cukup lelah menghadapi konflik dan
manipulasi dari pihak eksternal. Kami juga menyayangkan adanya individu dari
komunitas kami yang belum memahami sejarah lembaga adat, lalu dimanfaatkan demi
kepentingan tertentu," katanya.
LEMASA menyerukan agar tidak ada lagi upaya untuk melemahkan
persatuan masyarakat adat. Ia meminta agar LSM yang bersangkutan menghentikan
seluruh aktivitas provokatif yang merugikan masyarakat hukum adat Amungme.LEMASA
didirikan pada tahun 1994 dengan mandat untuk memperjuangkan hak-hak dasar
masyarakat adat Amungme, termasuk hak atas tanah ulayat, perlindungan HAM, dan
pelestarian lingkungan hidup.
Selama ini, LEMASA bermitra dengan banyak organisasi
nasional dan internasional dalam perjuangan keadilan dan keberlanjutan di Tanah
Amungsa. LEMASA berdiri kokoh di atas landasan konstitusi, yakni Pasal 18B ayat
(2) dan Pasal 281 ayat (3) UUD 1945, yang mengakui dan menghormati eksistensi
serta hak masyarakat hukum adat.
Di akhir pernyataannya, Menuel menyerukan kepada Bupati dan
Wakil Bupati Mimika untuk segera mengambil langkah konkret dalam pengakuan dan
perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat Amungme dan Kamoro.
Ia juga mengajak Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Papua
Tengah, pihak kepolisian, serta Ombudsman RI Perwakilan Papua untuk turut
mengawasi dinamika ini secara serius.
"Kami berharap lembaga-lembaga ini mengambil langkah
bijak dan sesuai kewenangan untuk menghentikan segala bentuk upaya sepihak yang
berpotensi merusak tatanan sosial masyarakat adat yang selama ini berjalan
damai dan konstruktif," tutupnya.
Penulis: Acik
Editor: Sianturi