SALAM PAPUA (TIMIKA) - Pemilik hak ulayat yang
terkena dampak langsung atas operasional pertambangan PT Freeport Indonesia
(PTFI) di Tembagapura mengaku geram lantaran tidak dilibatkan dalam upaya
penyelamatan 7 karyawan yang hingga saat ini masih tertimbun longsor material
basah di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC), sejak 8
September 2025 sekira pukul 22.00 WIT.
Tokoh masyarakat, Janes Natkime yang mewakili marga lainnya
selaku pemilik hak ulayat dengan tegas menyatakan sikap.
Janes menegaskan, insiden yang menimpa tujuh karyawan
merupakan duka nasional, karena itu seluruh pimpinan manajemen PTFI telah ada
di Tembagapura untuk melakukan upaya penyelamatan. Namun sangat disayangkan
pihaknya selaku pemilik hak ulayat tidak dilibatkan, padahal PTFI bersama
Tuarek telah ada kesepakatan yang disebut Januari Agreement.
Ada pun masyarakat atau oknum-oknum yang dihadirkan PTFI di
Tembagapura disebut bukan merupakan pemilik hak ulayat yang sebenarnya di
wilayah terjadinya longsor dahsyat tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa PTFI menganggap sepele keberadaan
pemilik hak ulayat. Padahal sebagai pemilik hak ulayat, pihaknya sangat
prihatin dan berduka atas peristiwa yang menimpa tujuh karyawan tersebut.
“Sebagai pemilik hak ulayat, kami menunggu hingga tanggal 15
September 2025 sore, jika tidak dilibatkan hingga melewati tanggal tersebut, maka
kami akan bertindak tegas terhadap PT Freeport Indonesia. Freeport harusnya
sudah tahu siapa orang pertama yang harus ditemui di Banti. Harusnya kami ini
yang dilibatkan, karena ibaratnya, sejahat apapun seekor anjing, namun ketika
pemiliknya yang didekati, maka anjing tersebut akan jinak dan tenang. Sampai
hari ini, kami sama sekali tidak dilibatkan oleh Freeport agar hadir di lokasi
dan berdoa atau bicara adat dalam upaya penyelamatan 7 nyawa manusia tersebut.
Kami prihatin dan berduka atas insiden ini, karena 7 orang itu punya istri, anak
dan keluarga besar yang harus secepatnya ditolong dalam bencana ini,"
pungkas Janes, Sabtu (13/9/2025).
Peristiwa tertimbunnya 7 karyawan ini, menurutnya, menambah
sederet duka dan luka hati bagi pemilik hak ulayat setelah kehilangan gunung
serta isinya. Atas duka ini, PTFI diminta mereview kembali Januari Agreement
dan memperpanjang kontrak kerja bersama dengan pemilik hak ulayat.
Diakuinya bahwa sejak PTFI beroperasi telah banyak yang
diberikan kepada masyarakat adat, namun di hati pemilik hak ulayat, khususnya keluarga
Natkime, Magal, Jamang, Omabak, Bukaleng, serta beberapa marga lainnya masih
ada luka yang tidak akan sembuh.
Tanah Amungsa, sambungnya, telah diatur adat dan
batasan-batasannya, sehingga orang Aroanop atau Tsinga tidak bisa
berbicara tentang orang Waa Banti atau pun sebaliknya.
"Tidak boleh menamakan diri, tapi harus tahu siapa yang
punya gunung, sungai dan bagian-bagian lainnya. Untuk di wilayah longsor itu,
harusnya kami ini yang dilibatkan. Kami Natkime, Magal, Jamang,Omabak,Omaleng
dan sejumlah marga lainnya," tegasnya.
Berulang kali, Janes dan marga lainnya menegaskan
kepada siapapun untuk tidak mengatasnamakan pemilik hak ulayat dan yang terkena
dampak langsung atas operasional PTFI, serta menjawab semua keinginan atau
proses tawar menawar bersama PTFI.
“Apabila ada oknum yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat dan
seolah-olah melebihi kami selaku pemilik hak ulayat, maka akan kami tindak
tegas. Kami minta jangan mencatut atau mengatasnamakan sebagai pemilik hak
ulayat dan sebagai yang terkena dampak langsung atas operasional PTFI,"
tegasnya kembali.
Saat salampapua.com mengonfirmasi ke pihak PTFI terkait
aspirasi masyarakat tersebut, hingga Minggu (14/9/2025), pihak PTFI mengaku belum
bisa menjawab lantaran hingga saat ini PTFI masih fokus penuh pada upaya
penyelamatan 7 karyawannya.
Penulis: Acik
Editor: Jimmy