SALAM PAPUA (TIMIKA)-Angka kasus HIV di Kabupaten Mimika kembali menjadi perhatian serius setelah data terbaru menunjukkan bahwa Mimika berada pada posisi kedua tertinggi di Papua Tengah. Status ini bukan sekadar statistik kesehatan, tetapi indikator bahwa penularan HIV di wilayah ini masih berlangsung aktif dan membutuhkan penanganan yang jauh lebih terstruktur, lintas sektor, dan berkesinambungan.

Mimika dikenal sebagai daerah dengan mobilitas penduduk sangat tinggi. Kehadiran industri berskala besar, arus pekerja dari berbagai daerah, serta dinamika ekonomi yang cepat menciptakan interaksi sosial yang intens. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mendorong tingginya potensi penularan HIV. Mobilitas tinggi telah lama disebut sebagai pemicu meningkatnya risiko perilaku seksual berisiko dan keterpaparan pada lingkungan yang kurang terkontrol.

Selain itu, pertumbuhan kawasan urban dan pusat hiburan di Timika menambah kerentanan masyarakat terhadap aktivitas berisiko, termasuk seks tanpa perlindungan maupun penggunaan narkotika suntik. Minimnya kontrol dan edukasi perilaku aman membuat sebagian kelompok masyarakat berada pada risiko yang tidak mereka sadari.

Di sisi lain, edukasi tentang HIV-AIDS masih menjadi tantangan besar. Stigma dan anggapan tabu membuat pembahasan mengenai seksualitas dan HIV jarang dilakukan secara terbuka, baik di sekolah, rumah ibadah, maupun lingkungan kerja. Akibatnya, pemahaman masyarakat tentang cara penularan, pentingnya tes HIV, dan manfaat pengobatan ARV masih terbatas. Banyak warga enggan melakukan tes karena khawatir diberi label negatif, padahal deteksi dini menjadi kunci memutus rantai penularan.

Akses layanan kesehatan juga belum merata. Meski fasilitas kesehatan di Timika relatif memadai, wilayah pedalaman, pesisir, serta kampung-kampung di SP masih menghadapi keterbatasan tenaga kesehatan, fasilitas tes HIV, dan layanan pengobatan. Kondisi geografis yang menantang sering menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan, yang pada akhirnya meningkatkan risiko penularan dalam keluarga maupun komunitas.

Dengan sejumlah tantangan tersebut, diperlukan langkah strategis dan menyeluruh untuk menekan laju penularan HIV di Mimika. Pertama, tes HIV harus digencarkan dan dipermudah, baik melalui puskesmas, layanan keliling, sekolah, maupun tempat kerja. Tes yang mudah diakses tanpa stigma akan mendorong lebih banyak orang mengetahui status kesehatannya.

Kedua, edukasi yang komprehensif harus diperkuat. Pemerintah daerah bersama lembaga pendidikan, tokoh agama, dan organisasi masyarakat perlu membuka ruang dialog yang jujur tentang HIV, seksualitas, penggunaan kondom, hingga bahaya narkotika suntik. Upaya pencegahan harus dilakukan dengan pendekatan berbasis komunitas dan bahasa lokal untuk menjangkau lebih banyak kelompok rentan.

Ketiga, pencegahan melalui distribusi kondom dan program harm reduction perlu dipertimbangkan sebagai strategi realistis. Di banyak negara, kebijakan ini terbukti efektif menekan kasus HIV, terutama pada kelompok berisiko tinggi.

Keempat, penguatan layanan kesehatan primer harus dilakukan melalui peningkatan kapasitas puskesmas, penambahan tenaga kesehatan, serta penyediaan obat ARV yang memadai. Layanan keliling dan pos kesehatan bergerak harus mencapai kampung-kampung terpencil agar tidak ada warga yang tertinggal.

Akhirnya, semua pihak pemerintah, perusahaan, lembaga agama, hingga pemuda perlu bersatu dalam upaya menghilangkan stigma terhadap orang dengan HIV. Harmoni sosial hanya bisa terwujud jika masyarakat Mimika mampu melihat HIV sebagai persoalan kesehatan, bukan moral.

Dengan komitmen bersama dan strategi berbasis bukti, Mimika dapat keluar dari daftar daerah dengan kasus HIV tertinggi dan menjadi contoh keberhasilan penanganan epidemi di Papua Tengah.

Upaya menekan kasus HIV di Kabupaten Mimika tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah daerah, tetapi terutama pada kekuatan garda terdepan yang bekerja langsung di lapangan. Tenaga kesehatan puskesmas, kader kampung, serta tokoh agama dan adat dinilai sebagai aktor paling penting dalam memutus rantai penularan HIV di masyarakat.

Dinas Kesehatan Papua Tengah menegaskan bahwa puskesmas merupakan ujung tombak utama penanganan HIV. Puskesmas memiliki peran strategis mulai dari pemeriksaan HIV menggunakan rapid test, konseling pra dan pasca tes, pengobatan antiretroviral (ARV), hingga tracing kontak bagi pasien yang terkonfirmasi positif.

Selain tenaga medis, kader kesehatan kampung menjadi unsur paling vital dalam menjangkau wilayah yang sulit diakses. Para kader ini melakukan edukasi rumah ke rumah, mengawal ibu hamil untuk mengikuti tes HIV, serta mendampingi Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) agar rutin mengonsumsi obat.

Peran kader dinilai sangat efektif karena kedekatan mereka dengan warga serta kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa lokal. “Kader adalah jembatan antara puskesmas dan masyarakat. Mereka membuat edukasi lebih diterima dan mengurangi stigma,” jelasnya.

Tidak hanya itu, tokoh agama seperti pendeta, pastor, dan ustaz turut menjadi garda sosial yang berpengaruh. Mereka membantu membuka ruang edukasi mengenai HIV di rumah ibadah serta mengajak jemaat melakukan tes HIV tanpa rasa takut. Mimika yang memiliki keberagaman agama dinilai sangat membutuhkan keterlibatan tokoh spiritual untuk menurunkan stigma.

Di tingkat kampung, tokoh adat dan kepala kampung juga memainkan peran penting dalam menggerakkan masyarakat mengikuti program kesehatan. Di banyak daerah pedalaman Papua, program kesehatan sulit berjalan tanpa persetujuan dan arahan tokoh adat.

Sementara itu, sekolah dan kelompok remaja menjadi benteng pencegahan jangka panjang. Edukasi kesehatan reproduksi, posyandu remaja, dan kelompok sebaya disebut sebagai strategi penting mencegah penularan HIV di kalangan usia produktif.

Perempuan melalui berbagai organisasi juga disebut sebagai agen kunci dalam pencegahan HIV, terutama dalam upaya pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT). Peran ini menjadi penting mengingat banyak kasus baru ditemukan saat pemeriksaan kehamilan.

Media lokal turut disebut sebagai elemen yang dapat memperkuat gerakan penanganan HIV melalui pemberitaan yang edukatif dan tidak diskriminatif. Dengan kombinasi seluruh unsur tersebut menegaskan bahwa pengendalian HIV bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama.

Penulis: Sianturi