SALAM PAPUA (TIMIKA)- Tema Natal PGI tahun ini, “Allah Datang untuk Menyelamatkan Keluarga”, menemukan dasar alkitabiahnya yang kuat dalam Injil Matius 1:21–24. Dalam perikop ini, malaikat Tuhan menyampaikan kepada Yusuf bahwa Maria akan melahirkan seorang anak laki-laki dan “Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Anak itu dinamai Yesus, dan Ia disebut Imanuel, Allah beserta kita.

Kabar Natal dalam Matius bukan hanya tentang kelahiran seorang Juruselamat, tetapi tentang kehadiran Allah yang masuk ke dalam kehidupan sebuah keluarga—keluarga Yusuf dan Maria—yang sedang berada dalam krisis, ketakutan, dan ketidakpastian. Di situlah Allah menyatakan karya keselamatan-Nya.

Matius 1:21–24 memperlihatkan bahwa rencana keselamatan Allah tidak dimulai dari kekuatan politik, kekuasaan agama, atau struktur besar, melainkan dari ketaatan sebuah keluarga sederhana. Yusuf, seorang tukang kayu, memilih taat kepada kehendak Allah meski berisiko secara sosial dan moral. Ia menerima Maria, melindungi keluarganya, dan mengambil peran sebagai ayah.

Tindakan Yusuf adalah teladan iman yang relevan bagi umat Kristiani hari ini. Keselamatan yang dibawa Yesus tidak hanya membebaskan manusia dari dosa secara spiritual, tetapi juga memulihkan relasi, martabat, dan kehidupan keluarga. Karena itu, Natal mengingatkan bahwa keluarga adalah ruang pertama tempat Allah bekerja menyelamatkan manusia.

Memasuki tahun 2026, keluarga-keluarga Kristiani menghadapi tantangan iman yang semakin berat. Tekanan ekonomi, rusaknya relasi dalam rumah tangga, kekerasan, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, pergaulan bebas, serta krisis nilai telah melemahkan fondasi banyak keluarga.

Dalam terang Matius 1:21–24, umat Kristiani dipanggil untuk meneladani ketaatan Yusuf—ketaatan yang tidak bergantung pada situasi ideal, tetapi pada kepercayaan penuh kepada Allah. Iman yang menyelamatkan keluarga adalah iman yang diwujudkan dalam tanggung jawab, kesetiaan, pengorbanan, dan keberanian mengambil keputusan benar di tengah tekanan.

Yesus disebut Imanuel Allah beserta kita. Ini berarti dalam setiap pergumulan keluarga, Allah tidak meninggalkan umat-Nya. Namun, kehadiran Allah itu menuntut respons iman: ketaatan seperti Yusuf dan kesediaan untuk hidup menurut kehendak-Nya.

Bagi masyarakat Papua, tema “Allah Datang untuk Menyelamatkan Keluarga” bukan sekadar refleksi teologis, melainkan realitas hidup. Banyak keluarga Papua hidup dalam situasi sulit: kemiskinan struktural, konflik berkepanjangan, trauma kekerasan, keterbatasan pendidikan dan layanan kesehatan, serta kehilangan anggota keluarga.

Dalam konteks ini, Natal menurut Matius 1:21–24 menjadi kabar pengharapan. Allah tidak tinggal jauh dari penderitaan keluarga Papua. Ia hadir, Imanuel di tengah air mata, ketakutan, dan kelelahan hidup. Keselamatan yang dibawa Kristus juga berarti pemulihan martabat, penguatan keluarga, dan harapan akan masa depan yang lebih manusiawi.

Gereja-gereja di Papua dipanggil untuk meneladani sikap Yusuf: melindungi yang lemah, bertanggung jawab terhadap kehidupan, dan setia menjalankan panggilan Allah. Gereja harus menjadi rumah aman bagi keluarga yang terluka, suara bagi mereka yang tidak didengar, dan sahabat bagi anak-anak, perempuan, serta korban kekerasan.

Pertama, umat Kristiani perlu membangun iman yang berakar di keluarga. Doa keluarga, komunikasi yang jujur, dan teladan hidup yang benar adalah wujud nyata ketaatan kepada Allah.

Kedua, gereja harus memperkuat pelayanan pastoral keluarga: pendampingan keluarga muda, perlindungan anak dan perempuan, edukasi kesehatan dan iman, serta pemulihan trauma, khususnya di wilayah-wilayah rawan konflik di Papua.

Ketiga, umat Kristiani perlu berani berkata “ya” kepada kehendak Allah, seperti Yusuf. Ketaatan iman sering kali menuntut pengorbanan, tetapi di situlah keselamatan Allah dinyatakan.

Keempat, umat Kristiani dipanggil membangun solidaritas sosial. Keselamatan Allah tidak individualistis, tetapi menyentuh seluruh kehidupan bersama.

Matius 1:24 mencatat bahwa “Yusuf melakukan seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.” Inilah inti Natal: ketaatan iman yang membuka jalan bagi keselamatan Allah bagi keluarga dan umat manusia.

Memasuki tahun 2026, umat Kristiani khususnya di Papua dipanggil untuk menghidupi Natal dengan iman yang taat, keluarga yang kuat, dan kasih yang nyata. Ketika keluarga diselamatkan, iman dipulihkan, dan Allah dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari, maka Natal benar-benar menjadi kabar baik: Allah beserta kita, menyelamatkan keluarga, dan memulihkan kehidupan.

Di Papua sendiri memiliki struktur sosial yang kuat berbasis gereja dan adat. Pemerintah perlu membangun komunikasi intensif dengan pimpinan gereja, tokoh adat, dan masyarakat sipil untuk menciptakan suasana Natal yang sejuk dan bermakna.

Dialog yang terbuka membantu mencegah kesalahpahaman, meredam potensi konflik, serta memperkuat rasa saling percaya antara negara dan masyarakat. Kehadiran pemerintah dalam ruang-ruang dialog ini adalah bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal Papua.

Lebih dari sekadar agenda rutin tahunan, Natal dan Tahun Baru dapat dijadikan momentum rekonsiliasi. Pemerintah memiliki peran strategis untuk membuka ruang-ruang rekonsiliasi sosial, terutama di wilayah yang pernah mengalami konflik dan kekerasan.

Langkah-langkah simbolik maupun konkret seperti kunjungan ke masyarakat terdampak, dialog damai, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan akan memperkuat pesan bahwa negara hadir untuk seluruh rakyat Papua tanpa diskriminasi.

Menjelang Natal dan Tahun Baru, masyarakat Papua menantikan bukan hanya perayaan, tetapi kehadiran nyata negara. Pemerintah dipanggil untuk menjadi penjaga harapan bersama menjamin keamanan, keadilan, kesejahteraan, dan martabat hidup masyarakat.

Ketika pemerintah menjalankan perannya dengan hati nurani, keberpihakan, dan dialog, maka Natal benar-benar menjadi kabar damai bagi Papua. Dari keluarga-keluarga yang merasa dilindungi dan dihargai, akan lahir harapan baru menyongsong tahun yang akan datang tahun yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat bagi seluruh masyarakat Papua.

Penulis: Sianturi