SALAM PAPUA (TIMIKA) - Warga Waa Banti, yang terkena dampak langsung atas operasional pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) di Distrik Tembagapura hadir ke publik dan menunjukkan salah satu dasar atas bukti kepemilikan hak ulayat mereka berupa Akte Van Eigendom Veer Pounding atas nama Irlander Tuarek Natkime - Notaris Te Batavia, Kantor Van G.H Thomas Nomor 37 yang diterbitkan tanggal 20 Juni 1938.

Akte yang ternyata diketahui diterbitkan sebelum kemerdekaan negara Indonesia ini, tertera nama Tuarek Natkime sebagai pemilik hak ulayat yang sah.

Akte ini untuk pertama kalinya dikeluarkan ditunjukkan ke publik oleh anak dan cucu Tuarek Natkime, untuk menjawab banyaknya oknum dan kelompok yang selama ini mengklaim sebagai pemilik hak ulayat ataupun hak sulung untuk mendapatkan bagian ataupun royalty atas pertambangan PTFI. 

Anak dan Cucu Tuarek Natkime serta marga-marga lainnya, membuktikan bahwa pihaknya tidak sekedar mengklaim sebagai pemilik hak ulayat, akan tetapi dibuktikan dengan akte dan pengakuan langsung sejak dimulainya operasional PTFI.

"Ini Akte sebagai data bukti bahwa kami pemilik hak ulayat. Di akte yang diterbitkan notaris zaman Belanda, tertanggal 20 Juni 1938 ini tertera nama Tuarek Natkime," terang perwakilan pemilik hak ulayat, Janes Natkime, Kamis (4/12/2025). Marga-marga pemilik hak ulayat yang telah Tuhan tetapkan di Waa Banti, dan terkena dampak permanen adalah: Natkime, Magal, Teneleng/Omabak, Bukaleng, Jamang, Omaleng, dan Juntang.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pihaknya akan membawa akte dan bukti tapal batas antar marga yang sudah disiapkan (pic. terlampir) kepada Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, dimana Gubernur sebagai Pemimpin tertinggi di tanah Papua Tengah ini, diyakini bisa membantu mendorong mencari solusi terbaik atas hak sebagai pemilik ulayat yang menjadi korban permanen selama ini.

Hal ini harus kami percayakan kepada Bapak Gubernur sehingga dapat dibahas bersama dengan seluruh stakeholders yang terkait juga untuk tujuan program Pemerintah dalam proses penyelesaian tapal batas di seluruh wilayah Pemerintahan Papua Tengah nantinya.

Gubernur Papua Tengah, sebagai Penguasa Pemerintah orang no 1 yang dipercayakan haruslah menjadi harapan kami. Karena kami pihak pemilik hak ulayat tahu bahwa perusahaan PT Freeport ada di bawah pemerintahan, bahkan Perusahaan Freeport pun ada setelah masyarakat pemilik hak ulayat ada di Tembagapura.

"Kami tahu Gubernur Meki Nawipa adalah anak Tuhan, yang bisa melihat kami sebagai korban permanen. Kami tidak asal-asalan klaim sebagai pemilik hak ulayat, tapi kami punya dasar dan bukti akte dan peta yang sudah ditetapkan," kata Janes, yang didampingi sejumlah tokoh selaku pemilik hak ulayat.

Janes juga mengisahkan, bahwa saat Freeport masuk ke Tembagapura sambungnya, orang yang pertama kali ditemukan adalah Tuarek Natkime yang tinggal di Utikini Waa Banti.

Pejabat Freeport yang bertemu Tuarek Natkime dan masyarakat Waa Banti adalah atas nama Jhon J. Curry, di saat masyarakat Waa Banti merayakan pesta tebu.

Kedatangan Jhon J. Curry tentunya membuat kebingungan karena tidak saling mengerti bahasa. Karena itu, hanya dengan isyarat, Jhon J Curry mengajak Tuarek Natkime untuk bertemu seorang Pastor Mozes Kilangin di Agimuga, kemudian kembali ke Waa Banti. Melalui Mozes Kilangin sebagai penerjemah, maka semuanya menjadi jelas, dan selanjutnya terjadilah pertemuan bersama tokoh-tokoh lainnya hingga melahirkan Januari Agreement dengan perjanjian -perjanjiannya untuk mensejahterakan pemilik hak ulayat melalui pembangunan perumahan, layanan kesehatan dan pendidikan.

Banyak perjanjian-perjanjian yang tidak masuk dalam Januari Agreement. Meski dari segi pendidikan terdapat anak-anak pemilik hak ulayat yang disekolahkan, akan tetapi masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat apapun. Padahal semua hasil alam telah habis dikeruk dan punah akibat dampak limbah.

"Jhon J Curry itu datang dengan helikopter dan Tuarek Natkime orang pertama yang mendekati dan berusaha berbicara. Saat itu masyarakat sementara pesta tebu," kata Janes, mengisahkan pertemuan awal Tuarek Natkime bersama orang pertama sebagai perwakilan Freeport.

Dokumen Veer Pounding 1923–1925 Ungkap Kepemilikan Tanah Keluarga Natkime pada Masa Kolonial.

Sebuah dokumen resmi era Hindia Belanda yang dikenal sebagai Veer Pounding dan Soerat Aanslag ditemukan dan mengungkap fakta penting mengenai kepemilikan tanah atas nama Klaudius Tuarek Natkime. Dokumen tersebut, yang diterbitkan pada 17 April 1925, merupakan surat penetapan pajak tanah yang menjadi bukti pengakuan pemerintah kolonial terhadap keberadaan tanah serta pemiliknya.

Veer Pounding merupakan sistem pajak tanah yang diberlakukan pemerintah Belanda untuk menilai dan memungut pajak atas tanah yang telah tercatat secara legal. Hanya tanah yang diakui pemerintah yang dapat dikenakan Veer Pounding, sehingga keberadaan dokumen ini menunjukkan bahwa tanah keluarga Natkime telah terdaftar secara resmi pada masa tersebut.

Dalam dokumen itu tercatat kewajiban pajak meliputi Veer Pounding, Boete (denda), dan Gemeente (pajak kota/desa), dengan total 348,74 gulden. Selain itu, terdapat bukti pembayaran yang dilakukan pada 24 Agustus 1923 dan 28 November 1923 untuk nomor Veer Pounding 13387, yang menegaskan bahwa tanah tersebut aktif dibayar pajaknya dan memiliki status legal yang sah pada era kolonial.

Nama Klaudius Tuarek Natkime yang tercantum pada surat penetapan pajak menunjukkan bahwa beliau adalah pemilik atau penanggung jawab tanah yang diakui secara resmi oleh administrasi Belanda.

Informasi ini menjadi penting bagi keluarga Natkime, karena dapat dijadikan dasar genealogis maupun legal dalam penelusuran sejarah hak milik tanah.

Dokumen bersejarah ini berpotensi kuat menjadi rujukan untuk proses verifikasi di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) maupun Kantor Pertanahan (BPN), termasuk penelusuran rantai hak milik melalui nomor Veer Pounding 13387. Bagi pihak keluarga, arsip ini menjadi bukti awal yang sangat berharga jika ingin melakukan klaim waris atau penelusuran letak dan batas tanah leluhur yang pernah tercatat pada masa kolonial.

“Kami, keluarga pemilik hak ulayat Waa–Banti, berharap dalam waktu tidak terlalu lama Bapak Gubernur Meki Nawipa dapat mengundang dan menerima kami untuk bertemu langsung,” imbuh Janes Natkime.

Penulis: Acik

Editor: Sianturi