SALAM PAPUA (TIMIKA)– Rentetan kasus pembunuhan sadis yang
kembali terjadi di Timika dalam 2 minggu terakhir tahun 2025 memicu
kekhawatiran luas di tengah masyarakat. Dalam beberapa kejadian, korban
ditemukan dengan luka sayatan brutal pada tubuhnya, menunjukkan pola kekerasan
ekstrem yang berulang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai
efektivitas pengamanan kota serta kesiapan aparat penegak hukum dalam mencegah
kejahatan serupa.
Ada tiga kasus pembunuhan misterius yang menewaskan Bonesius
Gaitian di SP9 dan Jesy Kainudin di area belakang Keuskupan Timika, Selasa
(2/12/2025) dan juga kasus meninggalnya Yudha Tegar Pratama di di sekitar
Tempat Pemakaman Umum (TPU) SP1, Kelurahan Kamoro Jaya, Distrik Wania, Sabtu
(29/11/2025) sekitar pukul 07.50 WIT lalu.
Kasus-kasus yang bermotif kekerasan tinggi tersebut dapat
mencerminkan keberadaan pelaku tunggal atau kelompok yang memahami celah
keamanan wilayah. Pola serangan yang dilakukan di lokasi gelap dan sepi
mengindikasikan bahwa pelaku bergerak terencana, memanfaatkan minimnya
penerangan dan lemahnya patroli malam.
Dalam situasi yang terus memburuk, publik menilai aparat
kepolisian harus mengambil langkah lebih tegas. Kejahatan berulang tidak lagi
bisa disikapi dengan pola penyelidikan biasa.
Polisi perlu membentuk satuan tugas khusus untuk menelusuri
keterkaitan antar-kasus, memperkuat patroli di zona rawan, serta memanfaatkan
rekaman CCTV publik dan swasta untuk memetakan pergerakan pelaku.
Selain itu, analisis psikologis oleh ahli forensik dianggap
penting untuk membaca karakter kekejaman pelaku yang meninggalkan luka sayatan
sadis pada tubuh korban bahkan sampai memenggal kepala korban hingga putus.
Sadis dan benar-benar psikopat. Pendekatan multidisiplin dinilai dapat
mempercepat pengungkapan kasus.
Selain aparat penegak hukum, pemerintah daerah juga dinilai
berperan besar dalam memperbaiki kondisi keamanan. Pemerintah diminta menambah
penerangan jalan di kawasan rawan, memperbanyak titik kamera pengawas, serta
memperbaiki sistem keamanan lingkungan yang selama ini masih lemah.
Analis sosial melihat bahwa permasalahan sosial seperti
pengangguran, konsumsi miras ilegal, dan aktivitas kriminal di kawasan
pinggiran kota turut mendorong meningkatnya kerawanan di Timika. Pemerintah
daerah didorong melakukan intervensi pada akar persoalan ini agar tidak muncul
pelaku-pelaku kriminal baru.
Meski tanggung jawab keamanan berada pada negara, masyarakat
dinilai tetap memiliki kontribusi krusial. Warga diimbau lebih waspada terhadap
pergerakan orang asing di lingkungan mereka, mengaktifkan kembali ronda malam,
dan memanfaatkan grup komunikasi keamanan RT/RW untuk berbagi informasi cepat.
Sejumlah tokoh adat dan pemuda di Timika juga mengingatkan
pentingnya sistem keamanan berbasis komunitas, mengingat karakter masyarakat
Papua yang kuat dalam budaya saling menjaga.
Rentetan pembunuhan sadis di Timika menjadi alarm keras
bahwa kota ini sedang menghadapi ancaman keamanan serius. Semua pihak polisi,
pemerintah, dan masyarakat diminta bergerak bersama sebelum jatuh korban
berikutnya.
Kejadian-kejadian brutal ini bukan hanya menimbulkan
ketakutan, tetapi juga berpotensi melemahkan stabilitas sosial dan ekonomi
masyarakat. Karena itu, berbagai pihak menegaskan bahwa penanganan keamanan di
Timika tidak boleh lagi berjalan dengan pola standar.
Penyelesaian tuntas, transparansi kerja aparat, serta
keterlibatan masyarakat menjadi kunci menghentikan siklus kekerasan yang
meresahkan tersebut.
Meski peran utama ada pada aparat dan pemerintah, masyarakat
tetap menjadi lapisan pertama perlindungan. Warga yang tinggal di kawasan gelap
harus membangun sistem keamanan berbasis komunitas seperti ronda, pemasangan
lampu swadaya di depan rumah, dan pemanfaatan grup komunikasi digital untuk
melaporkan hal mencurigakan.
Dalam kondisi minim penerangan, masyarakat dituntut lebih
waspada terhadap aktivitas orang asing, pergerakan kendaraan yang berkeliaran
malam hari, dan suara mencurigakan di lingkungan mereka.
Penulis: Sianturi

