SALAM PAPUA (TIMIKA) – Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, M. Adib Abdushomad, M.Ag., M.Ed., Ph.D, menegaskan pentingnya menjaga dan memperkuat harmoni kehidupan antarumat beragama di Kabupaten Mimika setelah daerah ini meraih dua Piala Harmony Award 2025 pada November lalu di Jakarta.

Menurut Adib, capaian tersebut harus terus dijaga dan diperkuat, karena mempertahankan kerukunan jauh lebih berat dibandingkan meraihnya.

“Kerukunan ini harus terus dijaga. Menjaga itu jauh lebih berat daripada meraih. Prestasi ini juga perlu diamplifikasi ke masyarakat luas, agar tidak hanya diketahui oleh kalangan tertentu, sehingga tumbuh rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga harmoni,” tegasnya.

Ia juga mendorong agar capaian Harmony Award disosialisasikan secara masif kepada generasi muda (Gen-Z), sehingga Mimika dapat menjadi role model bagi kabupaten dan kota lain di Indonesia.

“Saya kira ini capaian yang luar biasa. Harmony Award 2025 sangat kompetitif karena tingkat partisipasinya meningkat signifikan. Dari 512 kabupaten/kota di 38 provinsi, partisipasi tahun ini mencapai sekitar 75 persen, naik dari tahun-tahun sebelumnya,” jelas Adib.

Ke depan, Adib berharap Mimika tidak lagi sekadar mengejar penghargaan, melainkan menjadikan kerukunan sebagai habituasi dan ekosistem sosial yang hidup dan berkelanjutan.

“Harmoni Mimika Rumah Kita Bersama harus menjadi budaya. Siapa pun yang datang ke Mimika tidak hanya menjadi pribadi yang damai, tetapi juga membawa kedamaian. Meski konflik masih ada dan tidak ada yang sempurna, semua itu harus terus dikomunikasikan, termasuk dengan para kepala suku,” ujarnya.

Ia mengaku memiliki keyakinan kuat bahwa Mimika mampu mencapai kondisi ideal tersebut seiring berjalannya waktu, karena membangun peradaban membutuhkan proses panjang.

Adib juga menuturkan bahwa beberapa waktu lalu PKUB menerima kunjungan tamu dari Austria yang diajak melihat praktik kerukunan di Bali dan Yogyakarta. Dari kunjungan tersebut, muncul kesimpulan bahwa masa depan kerukunan umat beragama dunia ada di Indonesia.

“Lebih spesifik lagi, Mimika memiliki embrio kerukunan yang sangat kuat karena keberagaman suku, budaya, dan agama yang jauh lebih kompleks dibandingkan daerah lain,” paparnya.

Menanggapi masih terjadinya ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas di sejumlah daerah, Adib menilai pendekatan kebudayaan menjadi kunci utama dalam menjaga kerukunan. Ia mencontohkan salah satu desa di Bogor yang mayoritas penduduknya Muslim, namun memiliki enam rumah ibadah dari berbagai agama.

“Kalau hanya mengacu pada pendekatan legal formal seperti PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, itu tidak selalu cukup. Yang berjalan di sana adalah ruang kebersamaan, koeksistensi, dialog, dan kebiasaan berkumpul bersama. Bahkan sudah ada Lembaga Kerukunan Umat Beragama tingkat desa,” jelasnya.

Menurutnya, model tersebut dapat diterapkan di Mimika mulai dari tingkat kabupaten, distrik, hingga kampung. Praktik serupa juga berhasil diterapkan di Tomohon, Sulawesi Utara, melalui pendekatan budaya meski umat Muslim merupakan kelompok minoritas.

Adib menegaskan bahwa pendekatan legalistik semata tidak lagi menjadi patokan utama, karena akan runtuh ketika interaksi sosial, kebersamaan, dan komunikasi lintas iman berjalan dengan baik.

Terkait generasi muda, Adib mengingatkan pentingnya pendampingan dalam bermedia sosial agar Gen-Z tidak terpapar narasi kebencian dan ujaran intoleran.

“Anak-anak muda perlu diarahkan agar merujuk pada sumber bacaan dan tokoh yang otoritatif, mencintai NKRI, dan menjunjung tinggi kerukunan. Jangan sampai justru terpapar konten hate speech,” tegasnya.

Ia menambahkan, PKUB saat ini telah mengembangkan program Tunas Harmony untuk mencetak duta kerukunan di kalangan anak muda. Informasi terkait program tersebut juga dapat diakses melalui media sosial PKUB yang berisi konten-konten positif tentang toleransi dan kebangsaan.

Penulis/Editor: Sianturi